Kekerasan domestik, baik itu dalam hubungan pacaran maupun rumah tangga, masih menjadi momok di seluruh dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan sepertiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan oleh pasangan — 18 persennya terjadi selama 12 bulan terakhir. Penelitian tentang KDRT masih kurang memperhatikan orang transgender, tapi laporan tahun 2015 yang menganalisis 42 penelitian menemukan kelompok ini lebih rentan mengalami KDRT.
Bentuk kekerasan ini terjadi di balik pintu, sehingga sulit sekali bagi kita untuk menyikapinya. Stigma seputar KDRT dan dinamika hubungan yang penuh kekerasan kerap membuat korban kesulitan membuka diri dengan orang terdekat, atau bahkan melaporkan pasangan yang menganiaya mereka. Karena alasan itulah kasus KDRT jarang diproses hukum.
Mungkin ada kenalan kalian yang mengalami kekerasan di rumah, tapi kalian bingung bagaimana sebaiknya menolong mereka tanpa memperburuk suasana. VICE meminta saran dari Kirsten Regtop, pekerja sosial dan konselor yang menangani KDRT. Berikut langkah-langkah yang bisa kalian coba untuk membantu teman keluar dari hubungan toksik.
Kenali tanda-tanda telah terjadi KDRT
Hubungan setiap orang berbeda-beda. Ketika kalian melihat permukaannya saja, terkadang sulit menentukan apakah firasat buruk terhadap hubungan teman muncul karena kalian tidak terlalu memahaminya atau justru kalian mengidentifikasi “red flag” (tanda bahaya) dengan tepat.
Regtop menerangkan perilaku seseorang cenderung berubah ketika mereka mengalami kekerasan. Apakah mereka tiba-tiba mengenakan pakaian yang berbeda atau menjauhi kalian atau teman-temannya yang lain? Apakah mereka berhenti menjawab chat kalian? Pernahkah mereka tiba-tiba mengubah topik obrolan ketika sedang teleponan? Semua ini bisa menjadi tanda seseorang menerima kekerasan dari pasangan mereka. Namun, Regtop beranggapan yang terpenting adalah memercayai nalurimu.
Dia tidak menganjurkan kalian untuk mencari tanda-tanda fisik — memar dan luka mudah ditutup, ditambah lagi kekerasan tak hanya dilakukan secara fisik. “Polisi pernah menceritakan tentang perempuan yang diancam pakai anjing peliharaannya oleh pasangan,” ungkap Regtop. “Itu sangat mengintimidasi, tapi tidak meninggalkan bekas luka.”
Dia menambahkan pemahaman kita tentang KDRT masih sangat terbatas. “Sudah saatnya kita berhenti mengaitkan KDRT dengan perempuan pendiam yang matanya lebam,” tegasnya. “Ada banyak lelaki dan perempuan berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan mapan, tapi masih menerima kekerasan oleh pasangan.”
Kalian harus sadar, membantu korban KDRT tidak mudah
Menurut Regtop, kebanyakan korban KDRT tetap mempertahankan hubungannya meski telah disiksa pasangan. Banyak yang bersumpah akan memutuskan hubungan setelah menerima kekerasan, tapi ujung-ujungnya mereka berubah pikiran.
“Mereka mungkin mengira pasangan sudah siap mendapatkan bantuan, atau mereka merasa terlalu membesar-besarkan situasi,” ujarnya. “Ketika kalian datang untuk membantu, mereka biasanya sudah mulai baikan dengan pasangan.”
Proses ini benar-benar bikin frustrasi. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk tetap sabar menghadapi teman yang berubah pikiran. Membebaskan seseorang dari pasangan abusif memakan waktu yang tidak sebentar.
Selalu coba memahami posisi korban KDRT
Salah satu hal yang perlu kalian lakukan pertama kali adalah mencoba memahami sudut pandang dan dinamika hubungan mereka. Regtop mengutarakan, banyak korban KDRT memiliki empati yang besar. Pasangan akan memainkan perasaan teman kalian hingga mereka berpikir telah menyebabkan kekerasan itu. “Mereka tidak merasa sudah menjadi korban, tapi justru menganggap dirinya sebagai penyebab kekerasan,” terang Regtop.
Jika teman kalian berpikiran seperti itu, mereka pasti menganggap kekerasannya akan berhenti begitu mereka bertindak sesuai keinginan pasangan. Hal itu mungkin tampak tidak akal bagi kalian, tapi itu hal yang wajar dari sudut pandang mereka. Tahan diri kalian untuk tidak menilai mereka, dan cobalah pertimbangkan dinamika kekuasaan yang kompleks dalam hubungan mereka.
“Hubungan semacam ini awalnya berjalan dengan baik,” Regtop menuturkan. Hubungan mereka biasanya sangat intens sejak awal — teman kalian terlarut secara emosional dari awal menjalin asmara. “Pasangan yang kasar akan memanfaatkan ini secara halus tapi berbahaya.”
Contohnya, agar lebih mudah mengontrol kehidupan teman kalian, pasangan akan berusaha menjauhkan mereka dari orang-orang yang menentang hubungan ini. “Mereka mungkin akan ngomong seperti, ‘Kalau kamu beneran sayang sama aku, kamu harus berhenti menemui orang-orang ini,’” kata Regtop. Teman kalian yang sedang jatuh cinta akan lebih memercayai omongan pasangan dan menuruti keinginannya. Mereka jadi bergantung pada pasangan karena semua orang telah menjauhinya.
Dominasi ini merupakan inti dari hubungan yang abusif. Pasangan ingin mengendalikan hubungan mereka dan bisa kehilangan kendali jika kekuatannya terancam. Kalian harus mengerti tidak mudah bagi teman untuk mengakhiri hubungan — itu bisa membahayakan mereka. Dalam kasus ekstrem, pelaku KDRT tak tanggung-tanggung membunuh pasangan setelah diputusin.
Tetaplah berada di samping mereka
Sementara satu per satu orang mulai tersingkir dari kehidupan teman, kalian perlu menunjukkan kepadanya bahwa kalian akan selalu ada untuk mereka. Regtop menjelaskan langkah pertama yang bisa kalian lakukan yaitu mengajak mereka bertemu di luar rumah. “Ajak mereka jalan kaki,” dia menyarankan. “Terutama selama pandemi, penting sekali memiliki ruang aman untuk mengobrol.”
Kalian benar-benar harus memerhatikan “ruang aman” ini. “Naluri pertama kalian mungkin menanyakan banyak hal, tapi sebaiknya kalian berhati-hati dengan ini,” tutur Regtop. Teman kalian mungkin akan merasa wajib melindungi pasangan dan melihat tantangan sebagai musuh bagi hubungan mereka. “Selama teman kalian merasa bertanggung jawab atas perilaku pasangan yang suka mengontrol, mendominasi dan manipulatif, mereka akan merasa bersalah ketika pasangannya dijelek-jelekkan.” Mereka enggan membuka diri ketika merasa tidak nyaman.
Buang jauh-jauh ego kalian. Mereka akan semakin tertekan jika kalian terus-menerus mengatakan kalian khawatir dengan mereka atau merasa harus melakukan sesuatu. Sebagai teman yang baik, tugas kalian yaitu mengonfrontasi mereka dengan informasi penting tanpa membuat mereka semakin merasa bersalah. Misalnya, jika mereka sudah punya anak, Regtop tidak merekomendasikan saran-saran seperti, “Kamu harus meninggalkan dia demi anak.” Lebih baik kalian berkata seperti ini, “Pasanganmu seharusnya bersikap begini demi anak.”
Tujuannya agar kalian menjadi tempat paling aman untuk mencurahkan isi hati mereka. Setelah mendapatkan kepercayaan, Regtop menyarankan untuk memulai percakapan dengan pertanyaan simpel seperti, “Bagaimana kabarmu?” Tanyakan lagi kalau mereka tampak menahan diri. Regtop menambahkan sangat penting bagi teman kalian untuk menyadari sendiri ada yang salah dalam hubungannya. Mereka perlu membicarakannya — rasanya sangat melegakan bisa menumpahkan unek-unek. Kalian bahkan tak perlu memberi nasihat. Mendengarkan keluh kesah mereka sudah cukup.
Jangan paksa teman untuk bercerita apabila mereka belum siap. Katakan kalian siap mendengarkan kapan pun mereka butuh.
Bersiap menghadapi keadaan darurat
Teman kalian akhirnya mau menceritakan masalah mereka, tapi apa yang sebaiknya kalian lakukan jika situasi semakin gawat? Menurut Regtop, kalian bisa berkonsultasi dengan organisasi yang mendampingi korban KDRT. Tanyakan pendapat mereka apakah teman kalian membutuhkan bantuan polisi. “Yang paling penting, cari dulu opsi yang tersedia untuk mereka. Akan sangat membantu jika kalian sudah mempersiapkan semuanya saat teman membutuhkan bantuan kalian.”
Mungkin akan sulit bagi polisi untuk ikut campur apabila tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur kekerasan emosional atau psikologis di tempat tinggal kalian. Tapi setidaknya, kalian bisa mencarikan tempat berlindung yang aman atau menghubungkan mereka dengan organisasi yang bisa membantu mereka keluar dari hubungan penuh kekerasan.
Tetaplah tegar
Ada kalanya kalian ingin menyerah atau merasa putus asa karena tidak berhasil membantu teman. Namun, seperti yang dikatakan Regtop, “Jangan biarkan keraguan menghalangi niat kalian untuk membantu. Jangan takut memperburuk situasi atau mencampuri urusan orang lain.”
Sesulit apa pun rasanya melihat teman kembali ke pelukan pasangan yang kasar, kalian harus tetap bersikap baik dan memaafkan mereka. Ingatlah kebanyakan orang di posisi mereka cenderung melakukan itu. Meskipun tampak seperti perjuangan yang berat, akan lebih mudah bagi korban KDRT untuk mengakhiri hubungan apabila mereka memperoleh dukungan yang tulus.
“Ketika seseorang mengaku takut dan kalian menganggapnya serius, mereka lebih cenderung berpegang pada keputusan untuk mengakhiri hubungan,” terang Regtop. Dengan kata lain, seseorang harus siap pasang telinga ketika mereka akhirnya menyadari butuh bantuan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.