Aku mulai menyadari ada yang tidak beres dengan diriku pada saat pesta Zoom, tepatnya setelah aku menenggak sekaleng chūhai yang menemani obrolanku bersama para sahabat malam itu. Badanku terasa gatal, sehingga sesekali aku refleks menggaruknya. Aku awalnya mengira itu gatal biasa, hingga akhirnya aku sadar setengah jam kemudian, kedua kakiku penuh bintik-bintik merah.
Ini terjadi beberapa hari setelah aku pulih dari Covid, jadi aku berpikir hanyalah gejala bekas corona yang akan cepat hilang. Tapi siapa sangka, gatal-gatalnya terus berlanjut sampai sekarang. Sungguh aneh, mengingat selama ini aku baik-baik saja ketika mengonsumsi alkohol.
Sejauh ini, aku sudah tiga kali pingsan gara-gara alergi minuman keras. Aku awalnya nekat minum setengah gelas amer dan sepertiga kaleng chūhai, dengan anggapan: “Ah, paling cuma gatal-gatal”. Tapi yang terjadi justru lebih parah. Wajahku bengkak, sekujur tubuh terasa panas dan penuh ruam. Aku bergegas mandi air dingin untuk menyegarkan badan, dan tahu apa yang terjadi selanjutnya? Saudara perempuanku kelabakan mendapati aku tak sadarkan diri dalam keadaan bugil. Ia mengeringkan tubuhku sambil bolak-balik menghubungi dokter yang buka praktik di hari libur. Katanya, bibirku membiru dan mata melotot kala itu.
Di lain waktu, alerginya kambuh larut malam. Aku merasa baik-baik saja setelah menyesap koktail, dan bisa tidur dengan nyenyak. Tapi entah bagaimana ceritanya, aku terbangun dalam keadaan tergeletak di lantai kamar mandi. Wajah dan kepalaku lebam, sepertinya karena membentur sesuatu.
Aku sudah berobat ke dokter, bahkan sampai tes darah segala. Akan tetapi, hasil pemeriksaan nihil. Kondisi tubuhku baik-baik saja, cuma tak lagi bisa menoleransi alkohol. Sekarang aku harus belajar menerima kenyataan pahit ini. Badanku akan gatal-gatal, pandangan kabur dan tiba-tiba tubuh terasa melayang sebelum akhirnya pingsan.
Namun, sejujurnya, hal yang paling aku takutkan adalah kehidupan sosialku akan berubah drastis setelah memiliki alergi alkohol. Aku takut tidak bisa bersenang-senang seperti dulu lagi.
Minum-minum telah membudaya di Filipina. Aku mungkin bukan peminum berat seperti paman yang menenggak berbotol-botol bir San Miguel di siang hari layaknya minum air, tapi aku bangga mempunyai toleransi yang tinggi terhadap alkohol. Aku sudah minum-minum di saat usiaku tergolong masih muda. Sebagian besar waktu yang kuhabiskan bersama teman sepermainan juga selalu dihiasi alkohol. Mereka tampak menyukai diriku yang sedang mabuk, apalagi jika aku mendadak sok bijak tentang hidup. Dengan sabar aku menanti lockdown berakhir untuk merasakan kegembiraan ini lagi. Tak pernah terbayang olehku, suatu hari nanti harus mengucapkan selamat tinggal pada gaya hidup ini.
Kadang-kadang, aku masih terbawa kebiasaan lama — bahwa aku yakin bisa memesan sangria sebanyak mungkin, atau menyesap minuman beralkohol sambil makan siang. Pada kenyataannya, apa yang dulu memberikanku rasa nyaman, kini membuatku canggung saat berinteraksi sosial.
Sekarang setiap kumpul bareng teman, aku harus menjelaskan kenapa tidak mengambil minuman gratis. Aku juga selalu berkata pada diri sendiri, gin dan tonik yang ditambah banyak air sama enaknya. Ini cukup miris, karena alasanku minum-minum salah satunya untuk menghindari rasa canggung bergaul dengan banyak orang. Sebagai seorang introvert, alkohol mampu mengeluarkan sisi terpendam diriku yang lebih supel. Cerita hidupku jauh lebih menarik setelah meneguk tiga shot tequila, kepercayaan diriku meroket begitu mencapai gelas kelima. Sekarang, semuanya telah menjadi kenangan masa lalu.
Namun, selama dua tahun terakhir, aku banyak belajar bahwa hidup ini terlalu singkat. Ada berbagai hal lain yang bisa kita lakukan selain memusingkan apa kata orang, ataupun memaksakan diri minum-minum (meski itu bisa membunuhmu). Aku masih butuh jawaban kenapa tiba-tiba alergi, tapi setidaknya aku sudah mulai menerima kenyataan ini.
Aku sudah menemukan cara agar alergi tidak kambuh setelah minum-minum. Aku bisa minum antihistamin, lalu memilih satu jenis alkohol dan menikmatinya pelan-pelan secukupnya. Ini memang tidak bikin mabuk, tapi paling tidak aku masih bisa menyesap sesuatu. Sekarang aku masih berusaha menemukan minuman non-alkohol yang benar-benar enak, tapi selama ini belum dapat yang sesuai selera. Aku membeli sebotol sampanye bebas alkohol untuk merayakan ulang tahun yang ke-30, tapi sampai sekarang belum tersentuh lagi karena rasanya biasa aja. Untuk saat ini, aku hanya bisa menyetok La Croix di lemari es dan menuang ke gelas setiap malam Sabtu, seolah-olah itu koktail bukan air bersoda. Dan akhirnya, setahun setelah terpaksa beradaptasi dengan gaya hidup sober, aku mulai belajar bersosialisasi lagi.
Kadang orang masih melempar tatapan aneh begitu mengetahui kondisiku, antara kasihan dan bersyukur mereka tidak dalam posisiku. Aku berusaha masa bodoh, dan lebih mementingkan aspek lain yang kusukai dari kongko-kongko: melepas penat usai bekerja, berdandan, bergosip dan mengenang hal-hal bodoh yang kulakukan saat sekolah dulu.
Sekarang tiap makan siang bareng teman, hatiku tak lagi sedih menyaksikan mereka menyesap Aperol Spritz. Mereka tetap menganggap leluconku lucu, meski aku sedang tidak mabuk. Aku pun tersadar, hidupku sebenarnya tidak membosankan seperti yang kukira selama ini. Kita seharusnya belajar mengusir rasa tidak percaya diri, bukan malah mengabaikannya sementara.
Follow Therese Reyes di Twitter dan Instagram.