Berita  

Begini Rasanya Punya Ibu yang Terlalu Percaya Takhayul

begini-rasanya-punya-ibu-yang-terlalu-percaya-takhayul

Ibu selalu meletakkan irisan bawang merah di sudut ruangan, dan baru menggantinya setelah busuk. Bau yang menyengat sudah menjadi hal biasa bagi kami sekeluarga. Ke mana pun langkah kaki pergi, aroma khas bawang mengikuti.

Usiaku belum ada tujuh tahun saat diriku mulai menyadari kebiasaan unik ibu. Ya, tujuh tahun, ketika aku masih percaya hantu dan Sinterklas. Setiap teman-temanku yang orang Kanada main ke rumah, mereka pasti akan terkesima melihatnya. Aku cuma bisa tertawa dan beralasan ibu punya hobi unik. Toh mereka tak akan paham kalau aku menjelaskan itu merupakan bentuk keyakinan ibu.


Ibu bilang irisan bawang dapat menyerap energi negatif. Tapi kalau aku menanggapi dan mengatakan alasannya tidak masuk akal, ibu akan menyuruhku untuk tidak langsung memercayai informasi di internet. Ironis, beberapa takhayul yang dipercaya ibu berasal dari internet. Aku tidak boleh percaya internet, tapi ibu boleh. Curang banget!

Anak laki-laki memakai kalung bunga
Reangsei Phos saat masih kecil

Aku menyayangi ibu. Hal itu sudah tidak diragukan lagi. Hanya saja perdebatan kami yang tiada henti tentang takhayul telah merenggangkan hubunganku dengan ibu. Aku putra kebanggaan ibu semasa kecil dulu. Aku selalu mendengarkan nasihatnya, menuruti setiap perkataan ibu dan tidak pernah mempertanyakan tindakannya. Namun, begitu aku beranjak dewasa dan bisa berpikir pakai logika, ibu menuduhku anak pembangkang. Mungkin baginya, aku bukan lagi tipikal anak Asia yang berbakti dengan orang tua.

Aku yakin kepercayaan ini ada kaitannya dengan masa lalu ibu, jadi bukan sebatas pemikiran kuno yang diadopsi olehnya. Kedua orang tuaku merupakan rakyat Kamboja yang selamat dari kengerian genosida Khmer merah, yang menelan lebih dari 1,5 juta korban nyawa pada 1970-an. Walau mereka tidak terluka secara fisik, pasti ada trauma yang membekas, sehingga ibu gampang parno dan menjadi skeptis terhadap dunia. Aku yakin keraguan mengikuti ibu sampai kami pindah ke Kanada, datang dalam wujud takhayul.

Foto keluarga beranggotakan empat orang
Foto keluarga narasumber (kedua dari kiri).

Ibu memiliki darah Tionghoa, dan sebagian besar kepercayaannya berakar pada feng shui. Ibu bilang kasurku tidak boleh menghadap cermin karena dapat mendatangkan kesialan. Aku juga tidak diizinkan membeli baju bekas karena energi pemiliknya akan menempel padaku. Jika aku ngotot membeli baju itu dan memakainya, ibu akan memercikkan air untuk mengusir aura negatif.

Tanpa kusadari, kepercayaan ibu memengaruhi caraku memandang dunia. Aku sebetulnya enggak percaya takhayul, tapi kadang refleks menyalahkan ibu saat hariku buruk. Kenapa? Karena ibu lupa memercikkan air di pagi hari. Aku berusaha menyingkirkan segala keyakinan ini dari pikiranku, tapi nyatanya tidak segampang itu. Di sisi lain, aku memperhatikan, tampaknya saudara perempuanku menurunkan kepercayaan ibu. Dia selalu menunggu hingga dipercikkan air di pagi hari, tidak pernah membeli baju bekas, dan meletakkan perabotan sesuai feng shui. Selama ini, ayahku manut saja, kecuali kalau harus menyucikan rumah pada malam bulan purnama. Ayah ogah mengikutinya.

Tangkapan layar dari film yang menampilkan seorang ibu, anak laki-laki dan ayah
Tangkapan layar dari film pendek ‘Talisman’ yang digarap Reangsei Phos.

Aku membuat film pendek yang kurang lebih terinspirasi dari pengalaman pribadi. Bertajuk Talisman, filmnya mengisahkan seorang bocah yang percaya rumahnya angker. Keyakinannya semakin kuat sejak ibu, yang merupakan keturunan Tionghoa, memberinya jimat pelindung. Keluarga mereka bersitegang gara-gara sang kepala keluarga muak dengan takhayul yang dipercaya anak istrinya. Film ini lahir dari kekecewaanku atas kurangnya ruang mengekspresikan diri sebagai bangsa Asia selama berkuliah jurusan film. Tak ada kesempatan bagiku menggali dan menceritakan lebih dalam hal-hal yang dirasakan orang Asia.

Pemuda mengenakan kaus putih dengan rambut dicat pirang
Reangsei Phos

Kepercayaan ibu terhadap takhayul tidak meninggalkan trauma. Kepercayaan itu juga hanya muncul dalam benakku saat aku berada di rumah dan tak ada cara menghindarinya. Ketika aku sedang tidak di rumah, takhayul-takhayul itu tidak pernah tercermin pada perbuatanku. Ibuku tidak ikut aliran sesat, dan kepercayaannya juga tidak sampai membuat keluarga kami retak. Hanya saja, sebagai seorang anak yang menganggap orang tua sangat keren saat kecil dulu, sedih sekali rasanya mengetahui mereka tidak sehebat kelihatannya. Takhayul-takhayul ini akhirnya membuat kita mempertanyakan kebenaran segala ucapan dan nasihat ayah ibu.

Follow Arman di Twitter dan Instagram.