Tidur sering disebut kematian sementara karena roh dipercaya akan meninggalkan tubuh selama kita terlelap di malam hari. Ditambah lagi, selalu ada kemungkinan malaikat pencabut nyawa datang menjemput saat kita tidur.
Informasi ini tak mau pergi dari pikiranku sejak kecil, yang kemudian memupuk rasa takut hingga akhirnya saya gelisah setiap berbaring di atas tempat tidur. Semakin banyak pertanyaan yang berputar di otak tentang kematian, semakin tidak tenang hatiku. Semakin susah pula memejamkan mata. Bagaimana jika saya takkan pernah bangun lagi?
Lama-lama, saya terganggu juga dengan kecemasan yang tidak jelas asalnya. Hasil konsultasi ke psikolog menunjukkan saya mengidap fobia tidur, yang dikenal sebagai somniphobia atau clinophobia. Ketakutan berlebihan ini bisa dipicu oleh gangguan tidur lain, seperti night terror dan sleep paralysis (ketindihan). Selain itu, somniphobia dapat berkembang karena pengalaman traumatis di masa lalu, atau sebagai akibat dari gangguan stres pascatrauma (PTSD).
“Lebih dari 90 persen pasien PTSD mengalami gangguan tidur,” kata Federica Pallavicini, mahasiswa PhD jurusan psikologi University of Milan-Bicocca yang mempelajari penerapan game dan teknologi realitas virtual (VR) untuk mengatasi masalah kejiwaan. “Mimpi buruk yang berhubungan dengan trauma, susah tidur dan linglung setelah bangun tidur adalah beberapa gejala umumnya.”
Dalam kasusku, saya tidak menderita insomnia atau bermimpi buruk. Masalah utama yang kuhadapi yaitu munculnya pikiran-pikiran liar tepat saat saya mulai hilang kesadaran. Mendadak, saya merasa seperti ditarik ke dalam jurang yang tak ada habisnya. Saya pun mencoba sekuat tenaga membangunkan tubuh yang sudah setengah sadar. Dengan sekejap saya merentangkan tangan seolah-olah untuk mengusir kegelapan yang hendak merenggut hidupku.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, saya mulai mengalami gangguan tidur kira-kira saat saya berusia delapan tahun. Kala itu, ibu meninggal ketika dirawat di rumah sakit. Ibu mengembuskan napas terakhir di malam hari, setelah saya tertidur pulas. Saya baru tahu ibu telah tiada keesokan paginya. Dari situ, gejala klinophobia yang saya hadapi kian menjadi-jadi – dipicu fase depresi dan tingkat kecemasan tinggi. Ada kalanya gejala bertahan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
“Beberapa orang gampang terlelap begitu saja, tanpa ingat apa-apa,” tutur Michele Colombo, peneliti ilmu biomedis Universitas Milan di Italia. “Lalu ada yang terjebak di antara kondisi sadar dan tidak sadar, yang membawa serta persepsi bawah sadar yang telah berubah.”
Selama keadaan transisi inilah seseorang bisa mengalami gangguan tidur, seperti ketindihan, atau sensasi terjatuh seperti yang biasa kualami. Tubuh salah mengartikan gejala fisiologis, seperti otot mulai mengendur, yang biasanya terjadi ketika kita mulai memasuki alam mimpi. “Pikiran kita, yang tersesat dalam kondisi setengah sadar dan terpisah dari tubuh, bereaksi terhadap sinyal kewaspadaan dan melemasnya postur. Dari situlah, kita sering merasa seperti terjatuh saat hampir pulas,” Colombo menerangkan.
Saya takut tidur karena sensasi terjatuh ini, rasanya seolah-olah kayak mau mati. Saya sudah bertahun-tahun menjalani terapi, serta gonta-ganti pengobatan untuk mengatasi masalah tidur ini. Tapi tetap saja, rasa takut selalu mengekor hingga ke tempat tidur, sampai-sampai saya yakin akan bergumul dengan fobia ini hingga akhir hayat. Pada saat yang sama, saya sibuk mengkhawatirkan bagaimana jadinya kalau hari terakhirku di dunia ini dipenuhi pikiran-pikiran tidak irasional.
Chiara Teneggi, lulusan PhD filsafat dan instruktur yoga di pusat pengobatan kanker Italia, menyebut meditasi bisa membantu seseorang mengatasi fobia. Metode ini mengajari kita untuk memperlakukan pikiran layaknya “background noise”, alias suara bising yang ada di sekitar kita. Menurutnya, kita tidak boleh membiarkan rasa takut menang. Berbagai terapis yang telah saya temui selama beberapa tahun terakhir juga berkata seperti itu. Terapi melatih otak untuk mengabaikan ketakutan antisipatif yang memicu kepanikan – inilah satu-satunya cara untuk mengusir fobia.
Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata (EMDR) dan terapi perilaku kognitif (CBT) tampaknya menjadi teknik terapeutik paling efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan dan fobia yang disebabkan oleh trauma. Selanjutnya ada terapi paparan (exposure), yang mengharuskan seseorang berhadapan langsung dengan sumber trauma mereka di bawah pengawasan dokter. Terapinya akan berlangsung sampai pasien mampu mengurangi ketakutannya. Sejumlah negara bahkan telah memperkenalkan VRET, terapi paparan yang memanfaatkan VR. Di Amerika Serikat, metodenya diterapkan pada veteran perang yang menderita PTSD.
“Virtual reality dapat dijadikan alat terapi relaksasi, seperti latihan pernapasan yang terarah dan biofeedback (teknik mengelola respons tubuh yang tidak terkendali),” terang Pallavicini. “Pasien terapi VR akan menghadapi situasi traumatis dalam lingkungan yang aman dan dibimbing terapis. Dengan cara ini, pasien mengembangkan strategi baru untuk mengatasi trauma.”
Terkadang saya penasaran metodenya bisa menguatkan diriku menghadapi ketidaksadaran atau tidak. Tapi pada saat yang sama, aku merasa teknik ini terdengar kontradiktif.
Saya melihat pemisahan total antara kondisi terjaga dan tidak sadar, sehingga saya menganggap meditasi kurang efektif menangani fobia yang saya miliki. Tak peduli seberapa keras usahaku untuk bermeditasi, metodenya selalu gagal. Saya tak mampu membuat diri berada dalam keadaan setengah sadar. Atau mungkin, cara mengobati fobia ini memang terletak pada momen-momen tersebut, ketika saya tak tahu apa yang kulakukan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italy.