Video itu sepertinya mulai tersebar luas di media sosial sejak Juli 2016. Bisa jadi karena momen yang terekam di sana dalam rangka Hari Anak Nasional yang jatuh tiap 23 Juli. Seorang anak SD bertanya kepada Haji Muhammad Suharto, presiden RI ke-2 sekaligus ikon utama rezim Orde Baru, ketika tokoh itu masih berkuasa.
“Nama saya Hamli, dari Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Banggai. Saya mau tanya, mengapa presiden di Indonesia cuma satu padahal Indonesia sangat luas.”
Mendengarnya, Suharto langsung tertawa dan memberi penjelasan panjang lebar.
“Ya, terang itu. Nanti kalau… presiden itu hanya satu, untuk mimpin bangsa dan negara. Kalau sampai dua-tiga, itu nanti lantas tidak bisa berjalan dengan baik. Banyak pemimpin, banyak kapten, kemudian lantas ya negara menjadi rusak, gitu. Tapi terang bahwasanya presiden yang satu ini hanya melaksanaken yang jadi diputuskan oleh rakyat, melewati MPR, menentukan Garis Besar Haluan Negara.
“Walaupun [presiden hanya] satu tapi sebenernya terikat kepada Garis Besar Haluan Negara. Terikat kepada pancasila. Terikat kepada Undang-Undang Dasar 1945. Jadi memang ndak boleh [presiden lebih dari satu]. Menurut undang-undangnya hanya satu, tidak boleh [lebih]. Satu saja hanya untuk lima tahun, setelah lima tahun boleh dipilih lagi, untuk berapa? Lima tahun. Setelah lima tahun, kemudian atas pertanggungjawaban, bisa juga dipilih lagi, untuk berapa? Untuk lima tahun. Dan seterusnya.
“Kenapa kamu tanya begitu? Heh? Kenapa? Siapa yang suruh, siapa? Hahahaha. Karena hanya ingin tahu saja? Kalau di rumah kan juga begitu, kan tidak ada bapak dua-tiga, ya tho? Bapak itu hanya satu tho. Ha iya, yang memimpin rumah tangga itu bapakmu, hanya satu juga. Hahaha.”
Mengetikkan jawaban Suharto itu bahkan masih membuat bulu kuduk berdiri. Pada 1994 Suharto telah berkuasa 28 tahun, dihitung sejak dia menerima dokumen misterius Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), atau 24 tahun jika dihitung dari pelantikan resminya pada 26 Maret 1968. Situasi politik mulai gonjang-ganjing—Desember 1993, ketika tokoh oposisi Megawati Soekarnoputri memenangkan jabatan ketua partai nasionalis PDI.
Awal 1990-an Suharto mulai merangkul kekuatan Islam yang sebelumnya ia tekan. Pada 1991 ia naik haji dan menambahkan “Haji Muhammad” di depan namanya. Di tengah gelombang perubahan itu, butuh empat tahun kemudian untuk memaksa Suharto berhenti sebagai presiden. Artinya, pada 1994, aura angker Suharto sama sekali belum luntur. Bahkan ketika dia sedang berbincang dengan anak-anak.
Dalam konteks itulah suasana horor dari pertanyaan Hamli terbangun, menurut tafsiran orang-orang yang menontonnya sekian tahun kemudian. Muncul komen-komen seperti ini di YouTube:
“Mengapa presiden hanya satu?
Interpretasi: mengapa presidennya anda melulu?”
Pas Anak Itu Nanya
Gurunya: Panik
Orang Sekitar: Ketar Ketir
Kameramen: Deg”an”
“Saya tidak pernah setakut ini melihat orang tersenyum.”
Semua orang sepakat, Hamli dari Banggai ini nyalinya seakan-akan 250 persen. Dalam sekejap jawaban Suharto untuk Hamli jadi ikonik sekaligus viral. Petikan sesi di atas dipotong lagi hanya pada bagian “Kenapa kamu tanya begitu? Siapa yang suruh? Karena hanya ingin tahu saja?”
Bentuk kedua ini viral, menjadi barang yang pasti tak pernah terbayangkan Suharto: template meme. Meme itu berwujud video, skrinsut Suharto tersenyum, dan yang terbaru, singkatan KKTBSYS (Kenapa Kamu Tanya Begitu Siapa Yang Suruh).
Meme itu salah satunya digunakan untuk mewakili unek-unek para lajang yang muak ditanya kapan nikah. Fungsi lainnya masih banyak lagi. Tapi sisi paling dahsyat yang diwakili meme itu adalah bagaimana ia bisa meringkas dan meringkus gambaran kekejaman sang diktator Indonesia sejak mula hingga akhir kekuasaannya. Senyum pria berkuasa yang dikenal dengan julukan “The Smiling General”.
Pertanyaan balik intimidatif bahkan ketika yang dihadapi hanya seorang bocah sekolah dasar. Ketika pertanyaan sesederhana “Kenapa tanya begitu? Siapa yang suruh?” dilontarkan sosok yang mendirikan, mempertahankan, dan mengakhiri kekuasaannya dengan darah (diwakili tiga peristiwa tonggak: Tragedi ’65-‘68, Malari ’74, Tragedi Mei ’98), adalah lumrah manakala pemirsa menebak-nebak: apa yang terjadi dengan anak yang bertanya ke Suharto setelah acara tersebut?
Kami termasuk yang mempertanyakan hal serupa, dan setelah sejumlah pencarian, baru-baru ini kami berhasil terhubung dengan Hamli. Kepada VICE ia menuturkan bahwa pertanyaan berani itu sesungguhnya belum selesai karena keburu dipotong sang presiden RI ke-2.
Proses Mencari Hamli
Potongan video Hamli sepertinya diambil dari rekaman lengkap yang diunggah akun YouTube HM Soeharto. Tampak 10 siswa gantian bertanya kepada Suharto yang didampingi istrinya, Siti Hartinah, dan Wapres Try Sutrisno beserta istri, Titi Sutiawati. Dari 6 pertanyaan yang terekam, Hamli adalah penanya keempat.
Issue kepresidenan tampaknya menarik hati anak-anak di acara itu. Tiga dari enam pertanyaan adalah soal presiden (“Kapan Bapak bercita-cita jadi presiden?”, “Kenapa Presiden Indonesia hanya satu?”, “Apakah perempuan bisa jadi presiden dan jika iya, harus sekolah di mana”).
Acaranya penuh tawa. Cara bicara Suharto memang tak semenarik Sukarno atau sehumoris Gus Dur, tapi ia lebih vokal dan rileks ketimbang Jokowi, SBY, atau Megawati. Ia juga bisa menampilkan diri sebagai pemimpin yang detail ketika menjawab pertanyaan. Misalnya, Suharto mampu menjawab tanpa contekan bahwa dari 190 juta penduduk Indonesia, sebanyak 25,9 juta orang masih miskin. Ia juga lancar menyebut bahwa penduduk miskin ini tinggal di 20.666 desa tertinggal.
(Periksa data: Menurut data BPS, pada 1993 memang ada 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia.)
Nama Hamli dan bahwa ia berasal dari Kabupaten Banggai menjadi petunjuk terpenting dari video itu untuk melacak sosoknya di masa sekarang. Namun, banyak hal telah berubah dalam 27 tahun terakhir. Pada 1997, Kabupaten Banggai dimekarkan menjadi menjadi Banggai dan Banggai Kepulauan. Lima tahun kemudian Kabupaten Banggai Kepulauan dimekarkan lagi, memunculkan wilayah administratif baru Kabupaten Banggai Laut.
Hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik 2020 mencatat, ada 120.142 orang tinggal di Banggai Kepulauan, 362.275 di Banggai, dan 70.435 di Banggai Laut. Artinya, jika setelah 27 tahun Hamli masih tinggal di Banggai, aku harus mencarinya di kerumunan setengah juta orang. Ribet banget. Aku tahu, mending aku ketik namanya di internet aja deh.
Dan keluarlah video ini. (Kamu bisa loncat ke menit 1.40.)
Ada banyak orang yang terkenal sebagai meme di internet dan tak bisa lagi dilacak jejaknya. Temuan baru ini memberi clue bahwa Hamli tak akan jadi salah satunya. Informasi lain muncul, acara temu wicara itu dalam rangka Gelar Nusantara Anak Indonesia (Gelantara) 1994. Ketua penyelenggaranya adalah istri putra ketiga Suharto, Halimah B. Trihatmodjo. Ketua pelaksananya Sarsito N. Sarwono.
Rasa ingin tahuku sejenak teralihkan. Apa jabatan Sarsito di pemerintahan saat itu? Tak bisa kutemukan. Yang kudapati hanyalah dokumen ini, bahwa pada 1997 ia Sekjen Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial. Surprisingly (atau malah tidak), pada 2017 atau 19 tahun setelah Suharto lengser, Sarsito masih menjadi pengawas Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dan di 2020, ia terlibat di tim penanganan Covid-19 Kemensos.
Video barusan diunggah Farhan Perdana pada 2019. Aku lalu menghubunginya lewat Facebook untuk mencari tahu hal yang masih gelap lain: Dari mana ia mendapat video Hamli itu? Apakah Farhan sempat bicara dengannya?
“Saya mendapatkan video tersebut dari akun YouTubenya Bang Hamli sendiri. Sekarang mungkin akunnya sudah dihapus,” jawab Farhan yang tinggal di Jakarta, lewat Messenger.
“Saya penasaran waktu itu dengan nasibnya Bang Hamli. Jadi, saya cari tahu tentang beliau, tempat tinggalnya, dan akhirnya nemu video tersebut di akun yang saya rasa akun YouTubenya karena videonya cuma tentang hal tersebut. Susah di-profiling, tapi akhirnya dapat. Saya mau menghubungi, tidak ada kontaknya. View-nya kecil, sedikit yang melihat. Jadi, saya reupload. Itu pas saya nyari tahun 2019. Videonya sendiri telah di-upload lebih lama.”
“Oh ya,” Farhan teringat sesuatu. “Judul videonya di YouTube waktu itu: ‘hamli dr sulawesi tengah yg d kira sdh d culik’. Itu video tahun 2018-an deh.”
Video Hamli dewasa yang diunggah Farhan menjadi satu-satunya sumber yang kemudian diunggah beberapa akun lain. Aku menduganya dari musik yang ditambahkan Farhan ke video Hamli. Di antara para pengunggah ulang, Safar Nurhan, seorang editor penerbitan yang tumbuh besar di Banggai, adalah salah satunya.
Safar seperti Farhan, selama bertahun-tahun penasaran dengan kabar Hamli. Rasa ingin tahu itu semakin bertambah karena Safar juga orang Banggai. Kampung halamannya di Paisubebe, Banggai Laut, walau kini ia tinggal di Jakarta. Dalam video di YouTube Safar, ia mengaku bertahun-tahun bertanya kepada kenalan-kenalannya di Banggai, tapi tak seorang pun tahu soal Hamli.
Sejauh ini aku belum mendapatkan sesuatu yang penting untuk membuatku terhubung dengan Hamli. Aku mengetikkan namanya di Facebook, YouTube, Twitter, dan Instagram. Ada banyak sekali orang bernama Hamli. Setelah lalu lalang di mesin pencari, barulah muncul titik terang dari sebuah postingan di Quora. Di sana aku berhasil mendapat nama lengkapnya:
Hamli Ndigani
Nama lengkap itu mengantarkanku pada akun Facebook dan YouTube pribadi milik Hamli. Aku yang dilanda euforia segera mengirim pesan dan mengirim permintaan pertemanan ke Facebooknya.
Empat hari berlalu.
Tak ada respons.
Setelah mencoba jalur memutar, dan kembali dibantu Safar, sepertinya Hamli punya akun Facebook lain bernama Adex Jo. Kali ini berbalas.
“Pertanyaan saya dipotong”
Ini kisah Hamli yang ia tuturkan kepadaku lewat WhatsApp, telepon, dan Messenger. Di tengah wawancara ia dua kali menghilang. Pertama karena sinyal hilang. Kedua karena hapenya kehabisan baterai. “Maaf, tadi hape lobet. Di sini lampu PLN hanya malam menyala,” katanya.
Hamli Ndigani di tahun 1994 adalah siswa kelas IV SD Muhammadiyah Luwuk di ibu kota Banggai. Umurnya masih 10 tahun. Ia bungsu dari empat bersaudara dan langganan juara kelas sejak kelas I.
“Saya dari keluarga yang kurang mampu, tapi saya berprestasi di sekolah,” katanya kepada VICE.
Saat kelas IV itu, ia menjuarai Cerdas Cermat di tingkat kota. Kompetisi adu pengetahuan antarsiswa SD ini populer di seluruh Indonesia pada masa itu. Klasemennya dibuat berdasarkan jenjang pemerintahan, seleksinya memakai sistem gugur. Para juara kecamatan bertanding di tingkat kabupaten, juara kabupaten bertanding di provinsi, dan puncaknya final di tingkat nasional.
“Awalnya saya ikut cerdas cermat di kota saya. Bagi yang berprestasi lanjut ke provinsi. Dari provinsi kami ada tujuh orang yang mewakili Provinsi Sulteng,” cerita Hamli.
Tujuh siswa Sulawesi Tengah ini bersama dua pendamping berangkat ke Jakarta untuk mengikuti Gelantara 1994. Selama seminggu mereka menginap di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Agenda mereka saban hari adalah pelesir ke tempat-tempat rekreasi. Sehari sebelum pertemuan dengan Presiden Suharto yang dinamakan “Temu Wicara” itu, mereka diseleksi kembali untuk menentukan siapa yang berhak mengikuti acara tanya jawab dengan Presiden.
“Waktu itu sebelum besok sesi tanya jawab, kami dikumpul 27 provinsi di Gedung Nusantara [kantor MPR/DPR]. Jadi tiap provinsi diwakili satu orang, diseleksi siapa yang punya pertanyaan paling bagus. Diseleksi lagi tinggal 14 orang, lalu 7 orang yang akan tanya jawab dengan Presiden Suharto di halaman Istana Negara. Tapi ada tambahan anak cacat satu orang [sehingga jadi 8 orang].”
Hamli lolos hingga seleksi yang menyisakan 7 siswa berbekal pertanyaan fenomenal itu. Berkebalikan dengan asumsi penonton, ia tak pernah merasa takut atau dapat masalah karena pertanyaan tersebut. Bukan cuma direstui panitia, pertanyaan itu juga dinilai “bagus” mengingat Hamli akhirnya lolos seleksi. “Tidak ada rasa takut karena kalau tahu bisa anu… tidak ikut sesi itu,” kata Hamli.
“Mengapa Bang Hamli tanya begitu?” tanyaku tanpa bermaksud meniru Suharto.
“Apa yang ada di pikiran langsung tanya. Enggak ada panitia [yang mengingatkan], ‘Jangan tanya begitu, ganti.’”
Hamli mengaku membaca komentar yang menuduh pertanyaan itu direkayasa dan bahwa Hamli disuruh seseorang. “Pertanyaan seleksi bukan settingan, tapi inisiatif peserta Gelantara itu. Pas seleksi pertanyaannya juga itu.”
Tapi yang kita saksikan di video bukanlah pertanyaan lengkapnya. “Sebenarnya ada lanjutannya, tapi waktu itu langsung dipotong sama Presiden Suharto,” kata Hamli.
“Harusnya, kenapa presiden Indonesia hanya satu padahal Indonesia sangat luas, terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Kalau Korea ada dua presiden, Korea Selatan dan Korea Utara. Tapi langsung dipotong dan ditanya balik, siapa yang suruh tanya itu?” Ia tertawa mengingatnya.
Bertahun-tahun kemudian, setelah Facebook muncul, Hamli terhubung kembali dengan dua teman Gelantaranya. Itang dari Bandung dan Andi Faisal dari Bone. Andi kini jadi kepala sekolah, kata Hamli. Sisa teman-teman lain sempat ia cari, tapi tak temukan. Dari Itanglah, pada 2017, Hamli mengetahui momen 23 tahun silam tersebut tiba-tiba kembali ditonton banyak orang.
“Teman saya yang sekamar waktu itu, namanya Itang Lesmana, orang Bandung, sekarang kerja di Damkar Bandung, kasih tahu saya, ‘Kawan, videomu ini viral. Trending topic di YouTube.’”
Spekulasi liar penonton tentang nasibnya mendorong Hamli membuat video klarifikasi. “Saya konfirmasi, upload di YouTube langsung kalau memang betul mau buktinya bahwa saya Hamli. Jadi saya kasih lihat piagam peserta Gelantara 1994.” Video itulah yang kemudian ditemukan dan diunggah ulang Farhan Perdana. Jelas bahwa video buatan Hamli tenggelam di internet. Orang-orang masih tak tahu keberadaannya.
Di sisi lain, panitia mungkin menganggap pertanyaan Hamli baik-baik saja. Tapi bagaimana setelahnya? Apakah Babinsa sempat datang ke rumahnya di Luwuk? “Tidak,” kata Hamli. Sekembalinya ke Banggai, ia dijemput petugas pemerintah dan dibawa ke kantor bupati untuk menerima ucapan selamat. Ia juga diantar ke kantor Dinas Sosial Banggai. Ia mengingat kepala dinas menjanjikannya diangkat sebagai PNS jika sudah lulus SMA, karena telah mengharumkan nama Banggai. Janji itu kosong, ia kecewa.
Hamli Ndigani sekarang adalah bapak beranak tiga. Umurnya sudah 41. Tahun ini anak pertamanya akan masuk SMA. Ia bekerja sebagai juru servis elektronik bermodal keberanian autodidak.
Ia membuka kios di Salakan, ibu kota Banggai Kepulauan yang berjarak 150-an km dari rumahnya di Desa Tataba, Banggai Kepulauan. Ia lebih sering tinggal di kios dan baru pulang tiap beberapa hari sekali. Ia sempat sekolah sampai SMA, namun tak lanjut kuliah karena kemiskinan keluarga. Orang tuanya buruh serabutan. Dari empat bersaudara, hanya Hamli yang mengenyam Wajib Belajar 12 Tahun. Ia mengingat, selain dirinya, kakak keduanya juga cerdas. Selalu juara kelas. Tapi sang kakak putus sekolah semasa SMP karena perlu gantian sekolah dengan adiknya. “Tinggal saya yang dikasih sekolah, satu-satunya yang lulus SMA.”
“Apa kesan Bang Hamli tentang Suharto?” tanyaku.
“Buat saya pribadi, orang asyik. Kalau saya, presiden yang melekat di diri saya, yang bagus waktu itu, ya cuma itu, Pak Harto. Karena saya lihat dia orang berwibawa, tegas orangnya, karena waktu itu belum ada [kesadaran soal pelanggaran] HAM.”
Dengan bangga Hamli bilang, anak pertamanya mirip dengan sang ayah, selalu menjadi juara kelas. Ia berharap anaknya bersekolah dengan baik selagi ia masih bisa membiayai.
Hamli sendiri merasa jadi meme tak berimbas apa pun pada popularitasnya. “Biasa-biasa aja karena tidak semua tahu, kecuali keluarga atau teman. Ada yang bilang ‘Ih jadi trending topic situ ye’. Enggak ada juga imbasnya. Tidak diminta-minta diundang di acara televisi swasta.”
Hamli hanya tertawa melihat spekulasi netizen soal nasibnya setelah melempar pertanyaan yang bisa ditafsirkan menggugat kepemimpinan Suharto selama tiga dekade.
“Dibilang [netizen] ‘saya sudah mati, sudah dikarungi’. Saya masih di sini, saya masih hidup. Guru-guru dan keluarga saya masih hidup.”