Berpikirlah sekali lagi sebelum memutuskan untuk menikahi seseorang, sebab apabila kemudian berubah pikiran, maka ada konsekuensi hukum yang harus dihadapi. Ini terjadi kepada warga Banyumas, Jawa Tengah, yang berinisial AS.
Laki-laki 34 tahun itu diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp150 juta akibat gagal memenuhi janji untuk menikahi tunangannya, SSL. Menurut putusan kasasi yang diunggah situs resmi Mahkamah Agung (MA), AS telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Seperti dilansir Detik, sengketa hukum ini berawal ketika AS mendatangi rumah orang tua SSL pada Oktober 2018 untuk membatalkan pernikahan yang awalnya disepakati berlangsung sebulan sebelumnya. Waktu pernikahan sendiri telah diputuskan saat kedua keluarga melakukan lamaran dengan adat Jawa, lengkap dengan cincin dan hantaran, pada Februari tahun tersebut.
Mendengar pernyataan itu, keluarga SSL merasa tidak terima dan menindaklanjutinya dengan menggugat AS secara hukum ke Pengadilan Negeri Banyumas. Majelis hakim memutuskan pada 27 Juni 2019 bahwa AS telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar kompensasi sebesar Rp100 juta secara tunai dan sekaligus.
AS yang tidak terima dengan putusan itu kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Semarang. Hakim yang memimpin persidangan juga sepakat dengan putusan sebelumnya bahwa apa yang dilakukan AS memang merugikan SSL dan keluarganya. Jumlah ganti rugi yang wajib dibayarkan pun bertambah menjadi Rp150 juta setelah banding.
Merasa mendapatkan putusan yang tidak adil, AS melayangkan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hasilnya tidak berubah. Majelis kasasi menegaskan permohonan AS ditolak dan dia wajib membayar biaya perkara sebesar Rp500 ribu. Mahkamah Agung menilai putusan ini sudah tepat, lantaran pembatalan pernikahan sepihak oleh AS itu tidak mempunyai alasan kuat, padahal kedua keluarga telah mengumumkan kesepakatan soal jadwal.
Dalam pengakuannya di persidangan, AS beralasan pembatalan itu dilatarbelakangi oleh sikap SSL yang ketika marah sering membanting handphone, merusak barang, dan mengeluarkan kata-kata kotor. Ia mengaku tidak menduga bahwa SSL akan bersikap seperti itu.
Berdasarkan pasal 58 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembatalan pernikahan oleh salah satu pihak tidak serta-merta menimbulkan hak untuk menggugat secara hukum. Namun, lain cerita apabila kedua pasangan telah mengumumkan rencana menikah, lalu diikuti dengan persiapan-persiapan yang membutuhkan biaya. Pihak yang merasa dirugikan punya dasar membawa masalah ini ke meja hijau.
Salah satu yang pernah mengambil langkah ini adalah perempuan berinisial DK. Pada 6 Juli 2020, ia dan pengacaranya melaporkan tunangannya, AP, ke Mapolrestabes Palembang, Sumatra Selatan. DK menyebut AP mendadak membatalkan rencana pernikahan yang awalnya disepakati berlangsung pada 7 Juni 2020. Bukan hanya undangan yang sudah dipesan, tenda yang dibutuhkan untuk menerima para tamu juga telah disiapkan.
Untuk menguatkan laporannya, DK menyertakan sejumlah barang bukti seperti foto prewedding dan nota-nota pembayaran uang muka untuk katering serta riasan. DK menilai AP tak punya alasan yang masuk akal untuk membatalkan rencana pernikahan. Karena ini, ia mengaku mengalami kerugian sebesar Rp20 juta dan merasakan malu.
“Alasannya ibu itu membatalkan tak masuk akal. Ibunya itu menuduh kami main dukun,” ujar DK.
Masalah pernikahan memang bukan mainan. Oleh karena itu juga, ada daerah yang sudah memiliki hukum adat tersendiri untuk mengatur bila ada pembatalan pernikahan secara sepihak. Misalnya di Dusun Purno Kidul, Wonogiri, Jawa Tengah. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan urusan pembatalan menikah sepihak menjadi masalah bersama.
Kepala Dusun setempat, Wiji, mengatakan selama 25 tahun memangku jabatan itu, telah ada lima kali pembatalan pernikahan. Pihak yang membatalkan harus membayar denda sebesar Rp10 juta yang dibagi separuh untuk keluarga yang dirugikan, sisanya masuk ke kas dusun. Sanksi materiil ini disampaikan kepada setiap calon pasangan dan keluarga mereka ketika merencanakan pernikahan.