Berita  

‘Bakar Rumah Mereka’: Ajakan Ganyang Arab Semakin Liar di Grup WhatsApp Orang Israel

‘bakar-rumah-mereka’:-ajakan-ganyang-arab-semakin-liar-di-grup-whatsapp-orang-israel

Seruan ganyang orang Arab di Israel telah menyebar di sejumlah grup chat WhatsApp dan Telegram, beberapa di antaranya sudah aktif sejak terjadinya serangkaian kekerasan tahun lalu. Seruan itu menyusul gelombang serangan penembakan dan penusukan yang telah menghantui Israel dan menelan 11 jiwa selama 10 hari terakhir.

“Sudah waktunya kita mengguncang negara ini,” bunyi pesan dalam grup WhatsApp “Love Israel” yang sudah dibikin sejak April 2021. Pengirim pesan itu mengajak anggota grup bertemu pada waktu dan tempat yang telah ditentukan di Tepi Barat, yang banyak orang Palestina berlalu-lalang. “Jika pemerintah diam saja, maka kita yang harus bertindak!”


Berdasarkan hasil tangkapan layar yang diperoleh Motherboard, pesan ini tersebar di berbagai grup chat lainnya.

“Bawa pisau, keling (brass knuckle), tongkat dan batu,” bunyi chat balasan seorang anggota grup Telegram. “Bom molotov.”

“Kita beraksi malam ini,” tulis pengguna WhatsApp dalam grup “we will not be silent” (“Kami takkan tinggal diam”) yang juga mengirim foto dua granat. Situs berita Ynet melaporkan, polisi telah berhasil melacak dan menginterogasi pengirim pesan tersebut. Dia rupanya bocah 13 tahun, dan punya kakak tentara Pasukan Pertahanan Israel. Anak remaja itu sudah kembali ke rumahnya sekarang.

image1.png

Selain pesan bernada kekerasan, seperti “Bakar rumah mereka”, staf Motherboard juga melihat foto-foto senjata yang akan dijadikan alat kekerasan. Beberapa anggota tampak menjual senapan AK-47 dan M-16.

Anggota grup ini mengajak orang Israel untuk mengulangi tindak kekerasan yang diselenggarakan di grup WhatsApp pada Mei lalu. Kala itu, sejumlah penduduk Israel membabi buta menyerang orang-orang Arab. Kedai es krim milik orang Arab di Bat Yam, kota yang berjarak hampir 12 kilometer di selatan Tel Aviv, juga menjadi sasaran massa.

Ajakan melakukan kekerasan yang beredar baru-baru ini dikumpulkan oleh FakeReporter, organisasi yang memantau dan melaporkan segala bentuk konten yang menyebarkan informasi sesat dan ekstremis di internet. Democratic Bloc, organisasi yang membela demokrasi di Israel, juga membantu mengumpulkan kontennya. Staf Motherboard memperoleh tangkapan-tangkapan layarnya dari kedua organisasi tersebut.

Direktur FakeReporter Achiya Schatz membeberkan, dibandingkan tahun lalu, polisi Israel kali ini bergerak lebih cepat mengusut postingan semacam itu. Dia yakin kekerasan dapat dicegah karena hal ini. Schatz sadar chat WhatsApp terenkripsi secara end-to-end, yang berarti pengembang tidak bisa memindai isi pesan pengguna. Namun, dia tetap menyayangkan tanggapan perusahaan jejaring sosial terhadap laporan mereka. Menurutnya, sampai hari ini belum ada peningkatan yang berarti.

“Saya tidak meminta mereka memantau grup. Saya hanya ingin mengetahui sikap mereka terhadap grup semacam ini,” terangnya. “Respons mereka sangat lamban. Ada grup WhatsApp yang masih aktif setahun kemudian, setelah anggotanya mengorganisir hukuman mati tanpa pengadilan. Grupnya sama. Saya rasa ada yang tidak beres dengan sistem dan pelaporan.”

“Sebagai layanan pesan pribadi, kami tidak dapat mengakses chat pribadi pengguna. Kami telah menyediakan opsi sederhana untuk melaporkan isi pesan, dan kami menanggapi permintaan yang sah dari penegak hukum,” kata juru bicara WhatsApp saat dihubungi Motherboard.

Telegram tidak menanggapi permintaan kami untuk berkomentar.

Schatz mengutarakan, sebagian besar grup ini mempromosikan “Kahanisme”, ideologis ekstremis Yahudi yang terpengaruh dari Meir Kahane, rabi ortodoks Amerika yang percaya seluruh orang Arab di Israel adalah musuh umat Yahudi.

“Sebagian besar rakyat Israel mengalami ini sebagai trauma,” terangnya. “Tapi ada segelintir orang yang justru menikmatinya. Dalam populasi Kahanist paling kanan, mereka melihatnya sebagai peluang merekrut pengikut. Para penganut Kahanist menginginkan kekerasan dalam artian perang agama. Tapi nyatanya, banyak orang bergabung dengan mereka padahal tidak religius. Mereka berasal dari kelompok terpinggirkan, para remaja yang keluarganya berpenghasilan rendah.”