Berita  

‘Bagaikan Hidup di Dimensi Lain’: Menyambangi Kota Paling Beracun di Benua Afrika

‘bagaikan-hidup-di-dimensi-lain’:-menyambangi-kota-paling-beracun-di-benua-afrika

Bijih jatuh berceceran dari truk bermuatan timbal, atau timah hitam, yang keluar masuk pabrik peleburan (smelter) setiap harinya. Kepulan asap hitam membumbung tinggi dari proses pengolahan bijih utama timbal (galena) dan bahan galian lain, mewarnai langit yang menaungi kawasan kota Kabwe di Zambia tengah. Tak jauh dari sana, anak-anak terlihat asyik bermain di jalanan berdebu bersama teman-teman mereka.

Aktivitas penambangan timbal di masa lalu menjadikan Kabwe kota paling tercemar keempat di dunia, dan menyandang status kota paling beracun di Afrika. Menurut laporan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang isu hak asasi manusia dan lingkungan, Kabwe masuk ke dalam daftar 50 “zona pengorbanan” teratas di dunia — istilah yang mengacu pada adanya daerah permukiman di dekat “situs paling berpolusi dan berbahaya, seperti galian tambang terbuka, smelter, [dan] kilang minyak”. Zona-zona ini disebut sebagai “contoh ekstrem ketidakadilan lingkungan”.


Masalah pencemarannya bahkan telah menimbulkan dampak kesehatan yang merugikan dari generasi ke generasi. Terlepas dari upaya pengendalian kontaminasi yang telah dilakukan, sekitar 50.000 orang masih berisiko menghirup udara yang telah terpapar timbal, dan mengonsumsi bahan makanan yang ditanam di tanah tercemar. Di kota yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa, kadar timbal berbahaya ditemukan mengalir dalam darah setiap anak yang lahir dan besar di bekas kawasan tambang.

Aktivitas pertambangan timbal telah beroperasi di Kabwe sejak 1904, tepatnya setelah penjajah Inggris menemukan endapan timbal dan seng yang melimpah pada akhir abad ke-19. Ini menjadi lahan tambang terbesar yang menghasilkan keuntungan miliaran dolar bagi negara. Setelah Zambia meraih kemerdekaannya dari Inggris, pemerintah menjadikan perusahaan tambang sebagian milik negara pada 1969 dan mengubahnya menjadi BUMN secara keseluruhan pada 1974. Zambia Consolidated Copper Mining (ZCCM) terus mengoperasikan tambang di Kabwe, tapi nyaris tanpa adanya regulasi yang mengatur emisi berbahaya.

Kesalahan penanganan limbah hasil pelindian timbal dari bijih, yang biasa disebut tailing, serta limbah terak dari proses peleburan, telah menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara yang tak dapat dibersihkan hingga puluhan tahun.

Harga timbal di pasar global turun pada pertengahan 1970-an, dan hasil olahannya semakin jarang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan produk sehari-hari. Tambang Kabwe akhirnya tak lagi mampu menyokong ZCCM, yang berujung pada penutupan lokasi tambang pada 1994. Tingkat pencemarannya mulai menjadi perhatian khusus sejak saat itu.

“Pada 1994, saya mulai mengukur sudah sejauh mana tingkat keracunan timbal dan potensi kontaminasinya di masyarakat,” ungkap Kapumpe-Valentine Musakanya, yang kala itu mengetuai tim investigasi kasus kontaminasi ZCCM. “Saya memberi tahu perusahaan, kita tidak bisa asal tutup lahan tambang begitu saja. Ada masalah turun-temurun yang perlu diselesaikan.”

Bersama rekan-rekan satu tim, Musakanya mengadakan pemeriksaan kadar timbal dalam tanah dan darah warga.

Pakar kesehatan telah menentukan batas normal kadar timbal dalam darah berada di bawah kisaran 10 mikrogram per desiliter (µg/dL). Namun, hasil pemeriksaan tim Musakanya menguak fakta yang sangat mengejutkan. Mereka menemukan banyak anak-anak di Kabwe yang memiliki kadar timbal darah di atas 80 µg/dL. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan kadar timbal darah yang tergolong fatal dalam tubuh anak-anak, yaitu mencapai 200 hingga 300 µg/dL. Sementara itu, penduduk di bekas kawasan tambang mempunyai konsentrasi timbal darah rata-rata 50-120 µg/dL.

Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan tidak ada batas kadar timbal darah yang aman. Logam berat ini merupakan salah satu neurotoksin atau zat paling berbahaya bagi kesehatan manusia, yang dapat merusak sistem saraf. Kadar timbal darah serendah 5 µg/dL telah dikaitkan dengan masalah perilaku dan kesulitan mengikuti pembelajaran pada anak-anak. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) telah menggunakan titik referensi 3,5 dan 5 µg/dL, jauh lebih rendah daripada yang ditemukan dalam darah anak-anak Kabwe.

Penutupan tambang timbal membuat kondisi ekonomi Kabwe terpuruk, yang kemudian disusul oleh tumbangnya sektor industri lain. Dewasa ini, warga yang mengalami kesulitan finansial bergantung pada bekas lahan tambang sebagai mata pencaharian. Mereka mengais sisa-sisa galena untuk dijual kembali. Jadi meskipun aktivitas pertambangan secara resmi telah dihentikan, warga tetap terpapar kontaminan dari pengolahan ilegal.

Banyak perusahaan masih mengoperasikan mesin yang melepaskan zat beracun ke atmosfer. Tak jauh dari galian tambang, terdapat Black Mountain yang menjadi tempat pembuangan berjuta-juta ton limbah timbal. Menjulang setinggi 100 kaki, gunung limbah ini merupakan sumber utama polusi.

Sejumlah organisasi lingkungan telah turun tangan untuk mengatasi masalah pencemaran timbal di Kabwe. Yang terbaru terjadi pada Maret lalu, ketika presiden Zambia mengajak organisasi lingkungan dan masyarakat bergabung membentuk komite teknis untuk mengatasi masalah yang ditinggalkan tambang Kabwe. Enam tahun sebelumnya, pada 2016, Bank Dunia menjanjikan dana sebesar $65 juta (setara Rp966 miliar berdasarkan kurs sekarang) melalui Proyek Perbaikan Pertambangan dan Lingkungan (ZMERIP) untuk mewujudkan remediasi dan menawarkan peluang ekonomi bagi penduduk setempat. Namun, warga dan aktivis menyebut proyeknya tidak menimbulkan perubahan besar.

Gideon Ndalama selaku koordinator ZMERIP mengungkapkan, proyek ini tidak menangani polusi udara. “Kami tidak memiliki mandat untuk melakukan itu,” terangnya. Dia mengakui keterbatasan pemerintah menuntaskan masalah kontaminasi timbal di Kabwe. Tapi menurutnya, sejak proyek tersebut berjalan, mereka telah memperbaiki lapisan tanah atas di lingkungan sekolah dekat situs tambang, sehingga menurunkan kadar timbal secara signifikan.

Seruan yang menuntut pertanggungjawaban pejabat dan pelaku bisnis juga semakin sering dikumandangkan. Diorganisir firma hukum Leigh Day di Inggris, yang bekerja sama dengan sejumlah pengacara di Afrika Selatan, lebih dari 100.000 warga Kabwe melayangkan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap anak perusahaan Anglo American Plc. Mereka menuntut kompensasi atas dampak pencemaran timbal yang telah membahayakan kesehatan mereka, serta mendesak perusahaan untuk membersihkan limbah di Kabwe secara menyeluruh. Pengacara yang mewakili warga mengklaim perusahaan itu sempat mengelola situs tambang sebelum akhirnya diserahkan kepada ZCCM. Hingga saat ini, belum ada titik terang soal kelanjutan kasus tersebut.

“Anak-anak di Zambia telah mengalami keracunan timbal yang sangat parah,” tandas Richard Meeran, kepala Departemen Internasional Leigh Day, saat dihubungi VICE World News.

Anglo American telah membantah tuduhan pihaknya bertanggung jawab atas pencemaran timbal, dan justru menuding ZCCM sebagai pihak yang patut disalahkan. Namun, perwakilan ZCCM mengatakan, mereka belum pernah klaim tersebut.