infakta.com. MEDAN – Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi mengeluarkan kebijakan untuk menonaktifkan Pengurus Karang Taruna Sumatera Utara yang diketuai oleh Dedi Dermawan Milaya dan menetapkan Plt. Kepengurusan Karang Taruna Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Nomor: 188.44/969/KPTS/2022.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Utara ini menuai banyak kritik dan penolakan oleh kepengurusan Karang Taruna Nasional. Berdasarkan informasi yang didapat bahwa SK Gubernur sumut tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan tentang Karang Taruna. Ia menjelaskan berdasarkan Peraturan Menteri Sosial RI nomor 25 tahun 2019, tentang Karang Taruna berbeda dengan peraturan menteri sosial sebelumnya (no. 77/ 2010) tentang Pedoman Dasar Karang Taruna.
Sekum Badko HMI Sumut menyayangkan sikap Gubsu tentang penerbitan SK Karang Taruna Sumut yang dinilai sebagai bentuk intervensi dan pemecah belah pemuda Sumatera Utara.
“Gubsu seharusnya menjadi seorang teladan yang baik bukan menciptakan kegaduhan di tengah pemuda sumut. Sebaiknya gubsu fokus terhadap janji-janji politiknya yang sudah dipenghujung periode. Sudah banyak kegaduhan yang terjadi mulai dari Infrastruktur untuk PON yang belum terlihat Progresnya, Rencana pembelian Medan Club yang penuh penolakan oleh masyarakat, dan masih banyak hal – hal urgent yang harusnya lebih difokuskan,” ujar Pangeran Siregar.
Abdul Halim Wijaya Siregar selaku Wakil Sekretaris Umum Badko HMI Sumatera utara, juga memberikan penjelasan bahwa Peraturan Menteri Sosial RI nomor 25 tahun 2019 tentang Karang Taruna berbeda dengan peraturan menteri sosial sebelumnya (no. 77 / 2010) tentang Pedoman Dasar Karang Taruna. Selain dari judulnya yang berbeda, secara substansi Permensos 25 / 2019 tidak lagi mengatur tentang kelembagaan dan rumah tangga Karang Taruna yang oleh karena itu pada pasal 21 dalam Permensos tersebut ditegaskan bahwa,
“Ketentuan mengenai keorganisasian dan kepengurusan serta pengesahan dan pelantikan kepengurusan Karang Taruna diatur lebih lanjut dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Karang Taruna. Permensos 25 / 2019 lebih mengatur terkait tata hubungan Karang Taruna dengan pemerintah, dimana posisi pemerintah sebagai pembina dalam dimensi pemberdayaan adalah lebih pada aspek fungsional dan pembinaan secara umum, bukan mengintervensi dan terlibat langsung dalam urusan internal, keorganisasian dan kelembagaan Karang Taruna. Karang Taruna adalah lembaga /organisasi yang independen dan mandiri dalam urusan rumah tangganya,” urainya.
Sebagaimana diatur dalam pasal 18 Permensos nomor 25 tahun 2019, betul bahwa keanggotaan Karang Taruna menganut sistem stelsel pasif artinya bahwa setiap generasi muda berusia 13 sampai dengan 45 tahun adalah otomatis anggota atau Warga Karang Taruna. Tetapi pengaturan tentang keanggotaan (usia keanggotaan) tidak otomatis mengatur kepengurusan (usia kepengurusan) karena dalam pasal 20 ayat (1) butir b disebutkan bahwa usia pengurus paling rendah 17 tahun yang itu berarti tidak ada pengaturan batas atas di permensos karena diberikan kewenangan pengaturannya kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana ketentuan pasal 21, dimana sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga Karang Taruna pasal 24 ayat (1) butir j disebutkan bahwa batas atas usia Ketua Pengurus Karang Taruna Provinsi adalah 55 tahun. Secara filosofis berbedanya pengaturan usia keanggotaan dan usia kepengurusan Karang Taruna disebabkan oleh karena keanggotaan Karang Taruna sebagai organisasi sosial adalah sebagai warga layanan atau kelompok sasaran program, sedangkan usia kepengurusan diatur sedemikian rupa dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga untuk kepentingan kaderisasi dan pemberdayaan Karang Taruna di desa/kelurahan oleh kepengurusan tingkat kecamatan hingga nasional yang dianggap efektif untuk melakukannya. Perlu juga dipahami bahwa keanggotaan Karang Taruna hanya berada di desa/ kelurahan, ditingkat kecamatan hingga nasional hanya ada kepengurusan yang bertugas memberdayakan Karang Taruna desa/kelurahan.
Halim juga mengatakan, mekanisme pembentukan kepengurusan dalam Karang Taruna harus selalu melalui forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi yang disebut Temu Karya. Temu Karya Provinsi yang telah berhasil menyusun dan membentuk kepengurusan Provinsi melalui mekanisme formatur kemudian legalitas pengesahannya secara kelembagaan dikeluarkan oleh Pengurus Nasional Karang Taruna kepada kepengurusan Provinsi dalam bentuk Surat Keputusan. Barulah kemudian berdasarkan SK Pengesahan dari Pengurus Nasional Karang Taruna dikeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan oleh Gubernur sebagai Pembina Umum Karang Taruna di Provinsi.
Surat Pengukuhan dari Gubernur bukanlah surat pengesahan terhadap suatu kepengurusan tetapi lebih merupakan pengakuan sebagai mitra pemerintah dan legalitas terkait kebijakan dan penganggaran. Sehingga adalah keliru jika SK Gubernur dapat menentukan kepengurusan Karang Taruna Provinsi sah/berlaku atau tidak, dan tentu itu merupakan bentuk dari intervensi Pemerintah yang sama sekali tidak membina dan memberdayakan bahkan berpotensi membuat gaduh baik diinternal maupun eksternal Karang Taruna.
Sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Karang Taruna pasal 25 disebutkan bahwa Seorang Ketua dinyatakan berhenti jika:
Meninggal dunia;
Karena habis masa baktinya;
Meletakkan jabatan (mengundurkan diri);
Diberhentikan untuk sementara (non aktif) oleh RPP karena keterlibatannya dalam kasus-kasus pidana;
Diberhentikan oleh RPP jika ternyata terbukti bersalah didepan pengadilan dalam kasus pidana yang merusak nama baik organisasi dan dirinya;
Diberhentikan dengan hormat oleh RPP diperluas jika ternyata dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 1 tahun tidak dapat menunjukkan keaktifan dan tanggung jawabnya sebagai ketua.
Seorang ketua baru digantikan oleh seorang Plt yang ditunjuk Rapat Pengurus Pleno (RPP), jika memenuhi ketentuan butir d atau jika sedang bertugas ditempat lain dalam waktu lama atau sedang dalam perjalanan ibadah. Diluar ketentuan butir d, maka ditetapkan Pejabat sementara (Pjs) oleh RPP.
Sehingga, dengan demikian, sama sekali tidak ada dasar yang kuat jika Pembina Umum (Gubernur) mengeluarkan SK pengangkatan Plt Ketua karena hal tersebut merupakan domain kepengurusan (RPP). Apalagi SK Plt oleh Pembina karena didasarkan oleh ketentuan usia yang sudah dijelaskan diatas.
Halim juga mencermati penjelasan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Sosial RI nomor 25 tahun 2019 serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Karang Taruna (hasil Temu Karya Nasional VIII Karang Taruna tahun 2020).
“Maka kami menghimbau agar kiranya Bapak Gubernur dapat lebih cermat dalam memahami aturan-aturan terkait Karang Taruna serta dapat secara bijak memfasilitasi dalam konteks pembinaan kepada kepengurusan Karang Taruna agar dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri secara keorganisasian Karang Taruna, apalagi secara fungsional juga dapat difasilitasi dan disupervisi langsung oleh Dinas Sosial sebagaimana ketentuan dalam Permensos no 25 tahun 2019 pasal 39. Karena dengan diterbitkannya SK penetapan Plt Kepengurusan Karang Taruna Provinsi Sumatera Utara sebagaimana tertuang dalam SK Nomor: 188.44/969/KPTS/2022 tentu sangat tidak sesuai dengan ketentuan/aturan tentang Karang Taruna dan berpotensi untuk memunculkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang pasti akan merugikan Gubernur sebagai Pembina Umum,” imbuhnya.(in/Mk).