Rencana pemberlakuan kebijakan Work From Anywhere (WFA), bagi para aparatur sipil negara (ASN) diklaim dapat meningkatkan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan mendorong karyawan untuk memberikan performa terbaik.
Rencana ini berangkat dari “keberhasilan” kebijakan Work From Home (WFH) selama masa pandemi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan kinerja ASN, sehingga perlu di-upgrade menjadi WFA.
Nyatanya, hingga saat ini, belum ada data-data statistik yang menunjukkan tidak ada penurunan kinerja ASN selama masa WFH. Kalaupun ada, pemerintah belum pernah merilis data tersebut kepada publik. Alih-alih persentase positif, cerita buruk justru terjadi saat ASN bekerja hingga larut malam, yang jika dihitung bebannya malah lebih berat ketimbang Work From Office (WFO).
Jika demikian, bayangan kesejahteraan dan peningkatan kinerja ASN di dalam sistem WFA bisa menjadi bumerang.
Pola praktik WFA
Sistem praktik WFA pada dasarnya menekankan pada dua faktor, yakni internal dan eksternal.
Secara internal, seseorang yang menerapkan metode WFA harus memiliki keinginan kuat untuk bekerja secara mandiri. Maka tidak heran jika kemudian pengukuran output menjadi tolak ukur utama orang bekerja atau tidak, karena tidak ada lagi tolak ukur kehadiran karyawan di ruangan.
Secara eksternal, WFA mengharuskan seseorang untuk bisa standby selama 24 jam dan 7 hari dengan adanya akses ke perangkat digital dan jaringan internet.
Perangkat tersebut penting karena sebagian besar pengawasan kerja dilakukan melalui aplikasi maupun video call. Faktor eksternal inilah yang dapat menentukan bagaimana capaian kinerja tersebut dicapai secara day-to-day.
Sebelum merancang regulasi terkait WFA bagi ASN, pemerintah perlu melakukan penilaian dan analisis menyeluruh terhadap potensi dan risiko dari pemberlakuan pola kerja tersebut. agar kebijakan yang dihasilkan dapat tepat sasaran, mampu mempercepat efektivitas, efisiensi, dan kinerja ASN maupun birokrasi, serta dapat meningkatkan kepercayaan publik.
Langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi pemberlakuan WFH bagi ASN selama pandemi berlangsung, lalu menyampaikan hasil evaluasi tersebut kepada publik. Hal ini penting lantaran tidak sedikit publik beranggapan bahwa ASN tidak bekerja maksimal selama WFH.
Kemudian, pemerintah juga perlu melakukan pengujian komparatif terhadap WFA, dengan mempelajari dan membandingkan pola kerja ASN di negara-negara maju.
Pemerintah Kanada, contohnya, memberlakukan remote working dengan persentase sekitar 60 persen berbanding sekitar 15 persen bekerja dari kantor. Mereka bahkan membuat panduan bagi ASN untuk menerapkan bekerja di mana saja dengan menekankan bagaimana pengaturan ruang kerja, penggunaan virtual private network (VPN) yang aman, dan tips bagaimana mengelola produktivitas dalam bekerja. Hal ini menunjukkan keseriusan dan komitmen pemerintah Kanada, yang tentunya bisa diadopsi oleh pemerintah Indonesia di dalam menerapkan kebijakan WFA.
Pastikan kesiapan ASN
Aspek lain yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu memastikan para ASN siap beradaptasi dengan perubahan sistem kerja tersebut.
Dengan sistem WFA, mau tidak mau ASN harus mampu menyesuaikan diri dengan sistem pekerjaan berbasis digital, sehingga pemerintah harus menjamin bahwa mereka dapat mengoperasikan aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan dalam bekerja jarak jauh.
Selain itu, dengan adanya fleksibilitas waktu dan tempat dalam bekerja, ASN harus siap dengan penilaian kinerja berbasis target. Perlu diingat bahwa perumusan target kinerja di dalam WFA perlu dilandasi semangat agar kinerja ASN dapat jauh lebih efektif dan efisien.
Namun, jangan sampai fleksibilitas tersebut menjadi celah untuk mengeksploitasi sumber daya manusia (SDM). Isu mengenai hak-hak pekerja, seperti lembur yang tidak diberi kompensasi, harus dihindari.
Pemerintah harus menemukan rumusan yang tepat di dalam membangun sistem WFA, sehingga di satu sisi, kinerja pelayanan publik dapat dijaga, atau bahkan ditingkatkan, namun di saat yang sama tidak mengorbankan hak-hak dan kesejahteraan ASN itu sendiri.
Proses perumusan kebijakan WFA tidak akan mudah. Pemerintah perlu membuka diri dan melibatkan entitas yang berkepentingan. Misalnya, masing-masing instansi pemerintah dapat mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk meminta masukan dari masing-masing unit eselon I dan kantor vertikal terkait penerapan WFA, seperti yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Pentingnya kolaborasi dinamis
Pemerintah juga perlu membangun kolaborasi dinamis dengan berbagai sektor dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.
Setidaknya ada tiga model kolaborasi, yakni antarpemerintah (government-to-government/G2G), antara pemerintah dan sektor swasta (government-to-business/G2B), dan antara pemerintah dan masyarakat (government-to-citizen/G2C).
Kolaborasi G2G berperan dalam penerapan aplikasi yang dibutuhkan dalam implementasi WFA guna memudahkan antarlembaga pemerintah untuk bekomunikasi dan bertukar informasi. Sistem aplikasi yang akan digunakan pun harus yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah di berbagai level, sehingga pola kerja WFA dapat tetap menjaga kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
G2B dapat berfokus pada bagaimana membangun prosedur pelayanan yang tepat dan tetap efektif bagi pelaku usaha, seperti proses perizinan pendirian usaha dan investasi, pengadaan lelang oleh pemerintah, dan kegiatan lain yang membutuhkan informasi secara online bagi pelaku usaha.
Sementara itu, G2C menekankan pada komunikasi dan interaksi antara institusi pemerintah dengan masyarakat dapat tetap bersifat dua arah dan terlaksana dengan baik dan minim kendala selama WFA.
Sebaiknya, ketika perumusan kebijakan, berbagai sektor dan pihak terkait dipertemukan dalam satu forum, sehingga masing-masing dari mereka dapat memberikan rekomendasi rancangan sistem WFA yang sesuai dengan kebutuhannya. Ini akan menciptakan produk win-win sistem kerja WFA.
Tidak lupa, upaya komunikasi antarberbagai pihak harus diawali hasil assessment holistik yang dilakukan oleh pemerintah terhadap efektivitas dan efisiensi kinerja ASN selama WFH.
Pola kerja WFA nantinya akan didominasi oleh penggunaan teknologi. Koordinasi dan rapat, misalnya, akan lekat dengan metode video call. Namun, agaknya pola tersebut masih harus dikombinasikan dengan cara-cara konvensional, seperti tatap muka, karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki akses internet yang memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus paham perannya sebagai penjaga nilai-nilai publik, dengan tetap memegang teguh tujuan utama dari sistem WFA, yaitu peningkatan kesejahteraan dan percepatan kinerja ASN guna meningkatkan pelayanan publik.
Pemerintah harus ingat bahwa rencana kebijakan WFA bagi ASN adalah upaya lompatan besar mewujudkan reformasi atau revolusi birokrasi yang dicanangkan sejak reformasi politik 1998. Jangan sampai penerapannya justru menjauhkan diri dari spirit itu.
Satria Aji Imawan adalah Manajer Peneliti di program Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.