Para ilmuwan telah menyelidiki sumber sinyal radio misterius yang terpancar di luar angkasa dengan pola berulang, atau terkadang mengikuti arah jarum jam.
Menggunakan teleskop radio terbesar di dunia, pengamatan ini diharapkan dapat membedakan dugaan sumber sinyal-sinyal tersebut, biasa disebut semburan radio cepat (FRB), berdasarkan pola magnetik yang tercetak dalam cahayanya.
Pertama kali ditemukan pada 2007, FRB merupakan pancaran gelombang radio terang namun pendek yang berlangsung sekitar beberapa milidetik saja. Ada anggapan semburan emisi radio ini dihasilkan oleh peristiwa kosmik yang sangat kuat. FRB biasanya berasal dari luar Bima Sakti, meski juga pernah terdeteksi di dalam galaksi kita sendiri.
Ada sinyal radio yang hanya memantul sekali, ada pula yang terdeteksi berulang kali dan terkadang memiliki siklus periodik aneh yang berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Kebanyakan ilmuwan sepakat munculnya FRB dipengaruhi oleh lingkungan intens di sekitar bintang mati.
Beberapa FRB telah diketahui asal-usulnya, dan masing-masing memiliki sifat istimewanya sendiri. Tapi kini, tim astronom yang dipimpin Li Di, profesor Observatorium Astronomi Nasional di Chinese Academy of Sciences, berhasil mendeteksi petunjuk penting polarisasi FRB, yang merupakan pola magnetik yang tertanam dalam sinyal radio. Temuan ini dapat mempersempit kemungkinan sumber ledakan kilat ini.
Mereka mengusulkan pancaran cahaya dari medan magnet yang sangat kuat ini mungkin berasal dari lingkungan magnetik yang terkait dengan matinya bintang muda, seperti ledakan supernova atau pulsar yang berputar dengan cepat dan terbentuk karena kematian sebuah bintang. Dengan kata lain, polarisasi yang lebih teratur menyiratkan sumber FRB “konsisten dengan lingkungan yang tak terlalu bergolak, padat, dan/atau dikelilingi medan magnet yang kuat seperti FRB lain,” demikian bunyi penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science.
“Kita bisa mengumpulkan informasi tentang asal-usul FRB berdasarkan polarisasinya,” tulis Di dan rekan-rekan penelitinya. “Kami menganalisis sifat polarisasi 21 sumber FRB yang memiliki pola berulang.”
Mereka menggunakan dua teleskop untuk mengamati secara langsung lima pancaran berulang, sedangkan sisanya dipelajari menggunakan sumber penelitian yang sudah ada. Kedua teleskop yang digunakan astronom yaitu Robert C. Byrd Green Bank Telescope di West Virginia dan Teleskop Sferikal Apertur lima ratus meter (FAST) di Pintang County, Tiongkok. Seperti namanya, FAST berdiameter 500 meter, menjadikannya teleskop radio cakram tunggal terbesar di dunia.
Tim Di awalnya tidak menemukan jejak polarisasi dalam data FAST. Data ini ditangkap dalam frekuensi lebih rendah, sehingga menunjukkan sinyal radionya memiliki gelombang yang lebih panjang. Tapi begitu mereka mengamatinya pada frekuensi yang lebih tinggi menggunakan data observatorium lain, mereka menemukan gelombang pendek lebih mungkin untuk menunjukkan efek terpolarisasi dari medan magnet. Dengan demikian, FRB yang muncul berulang kali menjadi “terdepolarisasi” pada frekuensi lebih rendah.
Menurut peneliti, ini dapat dijelaskan menggunakan model yang berpusat pada properti yang disebut sebaran ukuran rotasi. Ini menggambarkan jalur tak terduga yang dapat diserap cahaya dalam lingkungan yang medan magnetnya kuat. Gelombang radio yang lebih panjang cenderung tersebar ke berbagai arah. Itulah sebabnya tim astronom mengidentifikasi terjadinya depolarisasi pada frekuensi yang lebih rendah dalam data semburan gelombang radio.
Efeknya konsisten di seluruh FRB yang berulang, tapi semburan yang berbeda menunjukkan efek yang berbeda-beda pula pada pita spektrum. FRB 20180916B, misalnya, memancarkan sinyal selama 16 hari dan mengalami depolarisasi di bawah 200 MHz. Sementara itu, FRB 20121102A mengalami depolarisasi di bawah 3,5 GHz ketika muncul berulang kali pada siklus 157 hari.
Seperti yang dijelaskan dalam studi, FRB yang terdepolarisasi pada frekuensi lebih tinggi cenderung memiliki lingkungan magnetik yang lebih dinamis, menandakan semburannya berasal dari lingkungan yang sangat bergolak akibat kematian bintang muda. Sebaliknya, semburan yang terdepolarisasi pada frekuensi rendah kemungkinan berasal dari sisa-sisa bintang tua yang telah mati.
“Semburan berulang [yang sebaran ukuran rotasinya] lebih besar mungkin dipengaruhi oleh turbulensi, menghasilkan fluktuasi besar kepadatan elektron dan medan magnet, yang dapat menjelaskan keragaman di antara semburan berulang,” jelas para astronom.
Penelitian terbaru semakin menjawab teka-teki ledakan misterius ini, yang sukses bikin ilmuwan kebingungan selama puluhan tahun. Namun, masih banyak misteri yang perlu dipecahkan seputar FRB, termasuk pertanyaan apakah FRB yang muncul sekali dan berulang kali berasal dari fenomena luar angkasa yang sama atau tidak.
“Masih belum jelas apakah FRB dengan pola berulang tersebar di mana-mana atau berasal dari sumber yang tidak biasa,” ujar tim Di. “Semua jenis FRB, baik yang datang berulang kali pada skala waktu tertentu, atau yang membentuk populasi terpisah dari sumber ledakan tunggal, memiliki implikasi” bagi pemahaman kita tentang asal-usul dan lingkungan gelombang radio misterius itu.