Fanfiksi memiliki sejarah yang panjang. Karya tulis buatan penggemar sudah ada sejak abad ke-18, meski saat itu tersedia dalam format retelling, atau karya yang menceritakan kembali sastra klasik dan cerita rakyat. Fanfiksi mulai mendapatkan popularitasnya pada era 1960-an melalui fanzine Star Trek, dan kian digandrungi generasi 90-an ke atas.
Sub-genre terus bermunculan seiring hadirnya situs-situs macam FanFiction.net, Wattpad, Tumblr dan Archive of Our Own, sehingga akhirnya fanfiksi berkembang menjadi cerita yang melibatkan manusia sungguhan — bukan sebatas karakter fiktif. Fandom apa pun yang ada di dunia ini pasti memproduksi fanfiksi, tak terkecuali di kancah musik K-Pop.
Fanfiksi yang tokoh utamanya artis lebih dikenal dengan sebutan “real person fiction” atau RPF. Jenis paling populer tentunya cerita yang hot dan erotis. Penggemar membayangkan idola berpacaran dengan karakter mereka, pembaca dan bahkan artis lain. Cinta mereka mungkin bersemi dari konser atau perjodohan yang tak diinginkan.
Ana*, 19 tahun, merupakan penggemar berat BTS. Dia rajin mengkompilasi cuplikan video anggota boyband, lalu mengeditnya menjadi video “imagine” yang telah dibubuhi subtitle palsu. Penonton diajak membayangkan seolah-olah idola sedang menghabiskan waktu bersama mereka atau mengajak mereka mengobrol layaknya kekasih.
“Saya rajin membaca fanfiksi saat masih muda dulu. Dari awal [saya membuat video-video ini], saya langsung ketagihan membuat [fanfiksi] dalam format film pendek yang melibatkan penonton dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya,” kata perempuan Spanyol itu kepada VICE.
Dalam sebuah video berdurasi 11 menit, Jungkook tampak meminta penonton menjadi pacarnya. Sebagian besar skenarionya bersifat romantis, menceritakan betapa tergila-gilanya dia dengan penonton. Namun, bukan berarti semua karya “imagine” seperti milik Ana murni fluff. Tak sedikit tulisan dan video ciptaan penggemar mengandung unsur seksual.
Jungkook kembali muncul dalam video editan Ana yang lain, kali ini dia bermalam di hotel bersama penonton. Layar hitam berisi obrolan mesum di subtitle muncul setelah videonya menampilkan serangkaian foto Jungkook. Ana menegaskan tidak memiliki niat buruk saat membuat video ini.
“Kita semua punya fantasi, dan fanfiksi mengekspresikannya dalam bentuk cerita. Mungkin ini terdengar toksik atau halu, tapi menurut saya video-video ini bisa sangat menyenangkan selama kamu menontonnya dengan pola pikir yang sehat dan realistis,” ujarnya.
Terlepas dari popularitasnya, cerita smut sangat kontroversial di kalangan penggemar. Bagi orang-orang yang sepemikiran dengan Ana, jenis fanfiksi ini hanyalah kesenangan belaka, sedangkan penggemar lain menentangnya habis-habisan karena dianggap problematis.
“Rasanya aneh dan risih membaca cerita yang menseksualisasi orang sungguhan. Bayangkan dirimu di posisi mereka. Seperti apa rasanya saat mengetahui ribuan orang yang enggak kamu kenal membuat konten erotis tentangmu?” tandas Nur Lutfiah, penggemar Seventeen.
“Agak tidak manusiawi saat orang mencurahkan seluruh energinya untuk menulis fantasi seksual tentang artis yang karyanya tidak seksual sama sekali dan sebagian besar ditargetkan untuk anak muda, terutama yang masih di bawah umur. Idola menjalani latihan intensif selama bertahun-tahun bukan untuk dijadikan fetish,” penggemar LOONA, Afiq Batiah, berpendapat.
Di Korea Selatan, penolakan terhadap fanfiksi erotis memicu petisi yang mendesak presiden segera menindak para pencipta “real person slash”. RPS merupakan sub-genre fanfiksi yang “nge-ship” atau menjodohkan idola sesama jenis. Orang-orang yang mengajukan petisi merasa terganggu dengan penggambaran vulgar dalam konten semacam itu, terutama karena banyak yang melecehkan idola di bawah umur. Sejumlah idola bahkan telah menyuarakan hal serupa.
Banyak cerita RPS mengandung kekerasan dan adegan eksplisit, seperti pemerkosaan dan penganiayaan. Masalahnya menjadi semakin rumit karena fanfiksi biasanya disebar ke situs publik, sehingga siapa saja bisa membacanya. Isu soal fanfiksi membuat penggemar di Korsel terbelah menjadi dua kubu. Beberapa membelanya atas nama kebebasan berbicara, sementara lainnya berpandangan ada konten yang dapat melanggar hukum karena menseksualisasi orang sungguhan dan anak di bawah umur.
Ada pula yang beranggapan upaya melarang segala jenis RPS — bukan cuma yang eksplisit — termasuk tindakan seksis dan anti-LGBTQ. Genre ini paling populer di kalangan perempuan dan komunitas queer, dua kelompok yang secara historis tidak dapat mengeksplorasi seksualitasnya dengan bebas. Mereka menegaskan tak semua fanfiksi bergenre RPS, dan tak semua RPS mengandung unsur pornografi atau kekerasan.
Sebagian besar video Ana, misalnya, bersifat romantis. Dia yakin fanfiksi bisa menjadi sarana bagi pembaca untuk menemukan seksualitas mereka, terutama jika mereka mengidentifikasi diri sebagai lesbian gay biseksual transgender atau queer. “Kenapa membayangkan skenario seksual dengan idola dianggap hal tercela, tapi wajar-wajar saja kalau yang dibayangkan adalah gebetan?” tanyanya.
Dr. Tom Baudinette, dosen Universitas Macquarie di Sydney, Australia, mendalami budaya pop Asia Timur. Baudinette membenarkan ucapan Ana, bahwa fanfiksi memberi ruang aman bagi pembaca untuk menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya. Mereka mungkin orang queer, dan fanfiksi membuat mereka tersadar tidak ada yang aneh dari diri mereka. Ada orang di luar sana yang menikmati hubungan percintaan sesama perempuan atau laki-laki.
Akan tetapi, dia menekankan pentingnya membedakan penggemar yang membuat konten seksual macam fanfiksi dari orang-orang yang menciptakan deepfake. Isu seputar video bokep palsu ini juga melanda industri K-pop. Wajah artis ditempelkan pada tubuh bintang porno, sehingga mereka tampak seperti melakukan adegan syur.
“Masalah pornografi deepfake terkait dengan masalah yang telah lama dihadapi perempuan di ranah publik Korea Selatan. […] Pria mesum diam-diam memfoto perempuan di ruang ganti atau toilet. Lalu ada revenge porn, yang masalahnya juga serius di Korsel.”
Menurutnya, perbedaan terletak pada niat.
“Fanfiksi — beberapa di antaranya romantis, beberapa seksual — berasal dari ruang yang berbeda. Fanfiksi muncul dari perempuan yang mengeksplorasi seksualitas mereka, yang mana selama ini dikontrol oleh masyarakat.”
Noelle*, 22 tahun, berspesialisasi membuat smut yang melibatkan anggota grup kesukaannya, seperti NCT, Monsta X dan Pentagon. Baginya, konten ciptaan penggemar yang bersifat seksual baru menjadi masalah jika diunggah ke platform yang sering digunakan idola dan menampilkan foto-foto mereka. “Selama penulis tidak mempromosikan karyanya sampai ke peredaran bintang K-Pop tertentu, saya rasa itu tidak kelewat batas,” tutur Noelle.
Tak seperti fanfiksi tentang karakter fiktif, garis yang membedakan antara dunia nyata dan imajiner lebih kabur pada cerita-cerita yang menjadikan artis sebagai tokohnya. Budaya mengidolakan artis membuat penggemar merasa sangat dekat sekaligus jauh dari musisi atau selebritas favorit mereka.
“Ada penggemar yang memperlakukan [seleb K-Pop] layaknya sebuah karakter karena mereka sulit dijangkau dan kita mengidolakan mereka,” ujar Minh Tan, penggemar BTS berusia 19.
Namun, ada juga yang percaya di sinilah letak masalahnya. Ketidakmampuan untuk membedakan antara yang nyata dan tidak berpotensi mengarah pada perilaku berbahaya di dunia nyata.
*Nama telah diubah untuk melindungi privasi narasumber.