Kebosanan, aplikasi trading bebas biaya dan volatilitas pasar membuat kombinasi yang mematikan. Sejak awal pandemi, semakin banyak anak muda yang terjun bermain saham. Aku ikut termakan omongan orang.
Aplikasi Freetrade mencatat aktivitas jual beli saham yang berlipat ganda pada Februari-Maret 2020, sedangkan Trading 212 untuk sementara tidak dapat menerima anggota baru setelah kasus GameStop menghasilkan lonjakan pendaftaran dari investor pemula.
Banyak pemain saham amatir yang kehilangan uangnya saat harga GameStop jatuh, sementara yang lain hanya mendapat sedikit keuntungan. “Aku mahasiswa 18 tahun yang main saham dari tiga ribu jadi 22 ribu dan anjlok lagi jadi 3,1 ribu. Ayah berulang kali menyuruhku untuk menjualnya,” seseorang berkeluh kesah di Reddit. “Apakah aku pemain saham yang buruk?”
Meski jumlah yang rugi bandar tidak sedikit, investasi saham tetap diminati. Orang yang berkecimpung di pasar saham terus bertambah setiap harinya, tak peduli mereka memahami cara mainnya atau tidak.
Aku mulai berinvestasi saham pada Oktober 2020, setelah membaca artikel tentang ruginya menunda investasi dan bagaimana perempuan bisa kehilangan satu juta Pound seumur hidup karena kurang percaya diri secara finansial.
Aku awalnya membeli saham individu pada perusahaan besar seperti Apple dan Easyjet, serta Exchange-Traded Fund (ETF) yang merupakan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif. Pakar bilang ini bagus untuk pemula sepertiku. Menurut artikel yang aku baca, kita perlu menciptakan portofolio yang beragam. Aku menyunggingkan senyum, lalu memuji diri sendiri. Aku sudah melakukan hal yang tepat. Aku yakin tidak akan rugi.
Selanjutnya aku bergabung ke grup investasi di Facebook. Di sinilah aku berkenalan dengan penny stock, atau saham milik perusahaan kecil yang dijual murah. Jika kalian sudah nonton The Wolf of Wall Street, kalian mungkin masih ingat dengan Jordan Belfort yang kerjaannya menawarkan saham bernilai rendah. Dia menjamin mereka akan cepat kaya kalau membeli saham itu.
Aku mengingatkan diri sendiri agar tidak asal percaya dengan semua yang kubaca di grup, tapi nyatanya aku tergiur juga. Anggota grup sering memamerkan tangkapan layar portofolio dan menceritakan betapa cepatnya mereka mendapatkan profit. Aku merasa harus melakukan hal yang sama. Jangan sampai aku ketinggalan dari mereka. Beberapa hari sebelum Natal, aku memborong 10 saham (share) di perusahaan bernama Alpine 4 Technologies (ALPP) dengan harga masing-masing $2,67 atau setara Rp38 ribu. Orang-orang bilang mereka bisa mencapai tiga Dolar (Rp43 ribu) dalam hitungan hari. Temanku bertanya perusahaannya bergerak di bidang apa. Aku berpikir keras, lalu menjawab “Drone, kali.”
Aku menghabiskan total 200 Pound Sterling (Rp4 juta) pada beberapa saham yang diprediksi akan membawa keuntungan besar. Lagi-lagi aku teringat adegan The Wolf of Wall Street ketika Belfort menggambarkan “perusahaan teknologi mutakhir […] yang radar generasi terbaru ciptaannya sedang menunggu persetujuan paten”. Padahal, perusahaan itu hanyalah sebuah gudang dengan papan bernama perusahaan di atasnya. “Tenang saja,” batinku. ALPP pasti bukan perusahaan bodong.
Blogger bernama Paul menganggap dirinya “cukup cerdik dan berhati-hati dalam berinvestasi dan mengelola uang”. Dengan modal uang warisan sebesar 40.000 Pound Sterling (Rp800 juta), lelaki 30 tahun itu mulai membeli penny stock.
Saat aku menghubunginya, dia turun £3.798 (Rp76 juta) setelah berinvestasi di ALPP. Dia awalnya memborong sekitar 1.600 saham dengan harga masing-masing tujuh Dolar (Rp101 ribu), dan kemudian membeli lebih banyak setelah nilainya naik. “Katanya akan melebihi 10 Dolar (Rp145 ribu) per saham, dan akan terdaftar di NASDAQ dalam waktu dekat,” tuturnya.
Dia telah mengeluarkan 10.000 Pound Sterling (Rp200 juta) untuk membeli saham ALPP. “Bagaikan mesin slot. Aku memainkan lebih banyak uang daripada sebelumnya,” imbuhnya.
Nilai ALPP beneran naik. Kegembiraan mendorongku untuk beli 20 saham tambahan dengan harga $4,59 (Rp66,6 ribu) per saham. Aku beli 10 lagi saat nilainya anjlok jadi $3,97 (Rp57 ribu). Aku meyakinkan diri sahamnya sedang “diobral”.
Nilai saham naik turun selama beberapa minggu berikutnya. Setiap kali anjlok, investor yang panik akan marah-marah di grup Facebook karena merasa tertipu. Mereka sering diejek belum tahu caranya main saham oleh orang-orang yang mendorong mereka untuk membeli saham itu. Orang yang menghina itulah yang membuat mereka tergiur dengan sahamnya.
Aku menjual semua penny stock milikku secara bertahap, dan meraup keuntungan…£11,28 (Rp226 ribu) saja. Aku kecewa tidak bisa mewujudkan mimpi untuk tajir secara instan, tapi setidaknya aku lega karena tidak perlu memusingkan naik turunnya harga saham.
Yang sulit adalah membedakan pemain saham amatiran dengan penipu yang ingin memanfaatkan para pemula. Paul sepakat. “Sulit membedakan mana yang punya agenda tersembunyi dan tidak.”
Tak sedikit pemain saham yang masuk berita karena bisa kaya raya dari rumah, sehingga orang-orang tertarik untuk mencobanya juga. Padahal, jika menggali lebih dalam, kalian akan menemukan betapa banyaknya orang yang dituduh menghasilkan uang dari jualan “sinyal” alih-alih dengan berinvestasi.
Perencana keuangan Martin Bamford berujar, “Penipuan di dunia saham terkadang tidak terlalu kentara. Salah satu contoh terbesar adalah menjual sinyal. Kalian membayar biaya keanggotaan per bulan untuk bergabung di grup WhatsApp atau Discord, dan anggota lain akan memberi tahu mana saja saham yang harus dibeli.
“Mereka tidak tahu sahamnya menguntungkan atau tidak. Aktivitas ini ilegal karena mereka hanya memberikan saran yang tidak diatur.”
Selain itu, ada yang namanya “pump and dump”. Penipu akan menyebarkan informasi menyesatkan yang mendorong orang untuk membeli saham tertentu. Ketika harganya naik ke tingkat tertentu, orang yang memulai penipuan ini akan menjual saham mereka dan membuat investor lain kehabisan duit. Staf VICE pernah tertipu skema ini. Investasi yang tadinya bernilai 100 Pound Sterling (Rp2 juta) turun jadi £8 atau sekitar Rp159 ribu.
Terlepas dari semua itu, kadang-kadang masih ada pemain saham yang menggunakan akal sehat di grup Facebook. “Mengikuti saran di sini sama saja seperti main di kasino. Kalian mengerahkan seluruh uangmu untuk memilih hitam atau merah,” bunyi postingan Callum Holt.
“Aku sudah tidak pernah mengecek grup-grup tersebut. Tak banyak yang didapat dari situ. Yang ada kalian akan merasa tertekan untuk membeli sesuatu karena orang lain kelihatan untung,” kata Holt kepadaku. Dia sempat memborong penny stock dengan total harga 80 Pound Sterling (Rp1,6 juta), sebelum akhirnya fokus pada perusahaan yang lebih besar.
Dia merasa kasihan pada investor lain yang mengeluarkan lebih banyak uang. “Jangan sampai tertipu iming-iming kalian bisa cepat kaya dengan berinvestasi,” Holt menegaskan.
Aku meminta saran kepada Bamford untuk pemain saham yang membeli penny stock dengan harapan bisa punya banyak uang tanpa harus bekerja. “Ada orang-orang yang memberikan kesan sukses di media sosial […] tapi ada juga yang sukses dengan artian sesungguhnya. Mereka bekerja keras dan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapainya,” katanya.
Meski pengalaman bermain sahamku menghasilkan keuntungan yang sedikit lebih banyak daripada yang dikeluarkan, aku belajar bahwa berhemat dengan baik tidak menjadikanku investor yang bijaksana. Aku tak tahu apa-apa sama seperti pemula lainnya.