Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.
Curhatan pembaca: Bisa dibilang masa kecil saya kurang bahagia. Saya dibesarkan oleh ibu, dan tidak pernah memiliki sosok ayah dalam hidup. Saya dan ibu hampir tak terpisahkan. Baginya, semua orang di luar hubungan kami adalah musuh. Ibu bisa menjadi sangat penyayang sampai saya muak, tapi ibu juga bisa memperlakukanku dengan buruk. Ibu sering mengucapkan hal-hal yang melukai perasaanku.
Saya mengidap gangguan makan sejak kecil. Suatu hari, saya ngemil saat nafsu makan sedang baik. Ibu mengata-ngataiku. Katanya makanan ringan itu akan menumpuk jadi lemak. Ibu juga bilang tak ada satu pun orang di dunia ini yang mencintaiku dan manusia pada dasarnya hidup untuk dimanfaatkan orang lain.
Saya baru delapan tahun ketika ibu memberitahuku, semua orang menganggap saya sebagai beban ibu. Saya hanya bisa mencueki ibu, tapi ibu lalu memenangkan hatiku kembali dengan pelukan, hadiah dan kata-kata manis, seperti cinta ibu kepadaku lebih besar dari orang lain. Saya dulu selalu memercayai ucapannya.
Ibu sering menjalin hubungan yang toksik dan tidak sehat, sehingga teriakan sudah menjadi santapan sehari-hariku. Terkadang juga sampai main fisik.
Saya pindah ke luar negeri begitu berulang tahun yang ke-18, sebagian karena ingin menjaga jarak dengan ibu. Saya mulai pergi terapi, dan di sana saya menyadari bahwa selama ini saya trauma dengan masa kecilku.
Terapis yang menanganiku menduga ibu pernah mengalami masalah semasa kecilnya. Dia menganjurkan agar saya tidak sering-sering berhubungan dengannya. Saya mengikuti saran terapis. Tapi, setiap kali saya menemuinya, ibu pasti akan menghina diriku. Ibu bilang hidupku tidak berguna, terlepas dari kenyataan saya memiliki pasangan yang menyayangiku, tempat tinggal yang nyaman dan pekerjaan bagus. Perasaanku selalu kacau setiap dapat SMS dari ibu. Dia selalu tahu caranya membuatku meragukan diri sendiri.
Saya sadar ibu melakukan ini supaya saya selalu bergantung padanya. Sudah banyak orang yang menyuruh saya memutus hubungan dengan ibu. Akan tetapi, saya selalu merasa setiap kali memblokir nomor ibu untuk waktu yang lama. Setiap kali saya berhenti memblokirnya, ibu akan mengirim SMS yang terkesan menyalahkanku. Contohnya, saya takkan menyadari kalau suatu saat ibu meninggal sendirian di rumah.
Saya menyayangi ibu dan tidak mau membuatnya kesepian, tapi saya juga sadar kalau saya harus memutus hubungan dengannya. Sikap ibu hanya bisa menyakiti perasaanku. Masalahnya, saya juga khawatir orang-orang yang tidak memahami hubungan kami akan menghakimi saya jika saya melakukannya.
Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana sebaiknya saya menjelaskan kepada orang, bahwa saya sangat menginginkan ini dan saya tidak bermaksud egois? Adakah cara mengusir rasa bersalah ini?
Banyak anak di luar sana yang dibesarkan orang tua toksik, dan terpikir memutus hubungan begitu mereka beranjak dewasa. Ini bukan hal yang egois. Namun, tindakan ini memang masih dianggap tabu oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang memiliki keinginan menjaga jarak dari ayah ibunya kerap dirundung rasa bersalah dan malu. Mereka takut dicap anak yang tidak berbakti.
Mirjam Schneider sering berurusan dengan orang-orang yang mengalami masalah serupa. Selama bertugas sebagai pengasuh di MIND Korrelatie, organisasi yang menawarkan dukungan psikologis di Belanda, dia memperhatikan kesedihan, trauma dan rasa bersalah menjadi emosi yang paling sering muncul dalam kasus ini.
Kamu telah membuat banyak kemajuan. Schneider melihat, dari caramu membicarakan dinamika hubunganmu yang tidak sehat dengan ibu, kamu memiliki keterampilan introspeksi dan pengamatan yang kuat. “Kamu mampu menggambarkan secara jelas peran ibu dalam hidupmu, dan bagaimana sikap ibu memengaruhi dirimu,” terangnya. “Kamu memiliki akal sehat, jauh lebih besar daripada ibumu. Inilah yang membedakan dirimu dengan ibu. Caramu membicarakannya menunjukkan betapa kuatnya dirimu.”
Schneider mengatakan, tidak ada yang salah jika kamu ingin mengurangi kontak dengan orang tua atau bahkan memutus hubungan kalian sepenuhnya. Tapi kenyataannya memang tidak semudah itu. “Anak kerap memilih untuk tetap menjaga hubungan dengan orang tua, terlepas dari perlakuan mereka kepadanya selama ini,” tuturnya. “Itulah mengapa sulit sekali bagi kita untuk membebaskan diri, bahkan ketika hubungannya tidak sehat sama sekali.”
Tak bisa dipungkiri akan ada orang-orang yang mencap anak durhaka karena ingin mengakhiri hubungan dengan orang tua, padahal mereka tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di dalam rumah. Sulit bagi orang-orang ini untuk mengerti kenapa seorang anak mengambil keputusan ini. Dengan ditanamkannya rasa ragu dalam diri anak sejak kecil, maka wajar jika komentar orang lain dapat membangkitkan kembali kenangan-kenangan buruk dalam hidupmu.
Untuk mengatasi ini, Schneider menyarankan agar kamu tidak berharap tinggi orang yang tidak kamu kenal akan memahami perasaanmu. Yang terpenting yaitu membuka diri kepada orang-orang terdekat yang mengenal dirimu luar dalam. Menurutnya, apabila diskusi menjadi sulit, “Kamu bisa bertanya kepada diri sendiri: Kenapa saya mengambil langkah ini? Apa yang akan terjadi dengan diriku jika mempertahankan hubungan dengan ibu?”
Mustahil bagi anak untuk mengajak orang tua mengobrol secara jujur jika ayah ibu sering membuatmu merasa bersalah, dan menjadikan segala sesuatu sebagai kesalahanmu. “Kamu mungkin kasihan dengan ibu yang bergelut dengan perasaan semacam ini, tapi itu bukan tanggung jawabmu. Ibu kamulah yang seharusnya menangani masalahnya sendiri,” imbuh Schneider. “Penting bagi kamu untuk menyadari bahwa kamu tidak dapat mengubah ibu, jika ibumu sendiri tidak mau berubah. Tak ada keharusan bagimu untuk melakukan itu.”
Pola asuh toksik semacam ini baru bisa disingkirkan setelah orang tua mendapat bantuan psikologis, sehingga tak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengubah situasi. “Polanya tidak akan berubah, tapi kamu bisa membebaskan diri begitu mengenalinya. Kamu bisa memastikan sikap orang tua tak lagi memengaruhi perasaanmu,” lanjut Schneider.
Akan ada konsekuensi negatif apabila kamu membiarkan pola ini berlanjut — seperti yang telah terjadi denganmu di masa lalu. Schneider mengungkapkan, dia sering menangani klien yang mengidap gangguan makan karena dibesarkan dalam keluarga yang tidak sehat. “Orang-orang yang berada dalam situasi seperti ini biasanya mendambakan semacam kendali, dan gangguan makan bisa memberikan rasa kendali itu,” terangnya. “Ini bentuk kontrol yang rumit, tapi umum terjadi.”
Begitu beranjak dewasa, hidup kamu sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu pribadi. Kamu mungkin tidak bisa mengontrol sikap orang tua, tapi kamu bisa memutuskan bagaimana cara menanggapi mereka dan seberapa besar pengaruh orang tua terhadapmu.
Menurut Schneider, kamu bisa menulis surat untuk orang tua apabila kamu membutuhkan pelampiasan emosi dan berdamai dengan keputusan yang kamu buat. Kamu tidak perlu mengirim suratnya. “Dengan cara begini, kamu bisa mengendalikan pikiranmu sendiri dan memberi kesan seolah-olah kamu telah mengungkapkannya tanpa harus dihukum karenanya,” katanya.
Jika kamu memutuskan untuk tetap menjaga hubungan dengan ayah ibu, maka kamu harus banyak-banyak bersabar. Jangan lupa untuk berbaik hati dengan diri sendiri. “Jangan salahkan dirimu jika kamu ‘terlena’ omongan orang tua lagi,” tutur Schneider. “Prosesnya lambat sampai kamu bisa terbebas dari dinamika keluarga yang tidak sehat. Sadarilah sekarang kamu orang dewasa yang bisa melindungi sisi anak-anak di dalam benakmu — memutus kontak mungkin menjadi satu-satunya cara untuk bebas.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.