Penetapan bintang sinetron CA (23) bersama tiga muncikarinya sebagai tersangka kasus perdagangan jasa seksual, membuat Komnas Perempuan tak puas. Lembaga ini meminta agar Polda Metro Jaya menangkap pengguna jasa alih-alih memidana CA, yang dalam perspektif Komnas merupakan korban eksploitasi seksual. Komnas berpendapat, langkah demikian akan lebih efektif menghentikan praktik prostitusi.
“Jika memang polisi menempatkan kasus ini sebagai tindak pidana perdagangan orang, proses hukum bagi pengguna adalah amanat undang-undang, dan pengungkapan pengguna bisa jadi jauh efektif dalam mencegah tindak perdagangan orang untuk tujuan prostitusi di kemudian hari,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada Detik, merujuk UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 12.
Hukum Indonesia selama ini menyatakan membeli jasa seks bukan perbuatan melawan hukum, kecuali terkait zina, konten pornografi, seks dengan anak-anak, atau seks dengan kekerasan.
Absennya hukum terkait pengguna jasa prostitusi ini direspons politikus konservatif di DPR. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mewacanakan “kekosongan” ancaman pidana pada konsumen jasa seks bisa diisi lewat penambahan pasal di RUU KUHP. Tapi usulan itu masih harus dibahas bersama koleganya di parlemen.
“RKUHP ini belum kita sahkan, akan diajukan kembali ke DPR akan kita lihat. Apakah kemudian akan kita buka kembali pembahasan tentang keseimbangan [pidana produsen dan konsumen] dalam kasus prostitusi,” ujar Arsul, dilansir CNN Indonesia.
Sekilas tentang kasus CA: ia ditangkap polisi bersama seorang klien prianya di sebuah kamar hotel di Jakarta, 29 Desember lalu. Tiga muncikari ikut diringkus terkait kasus ini. Mereka adalah KK (24), R (25), dan UA (26). Polda Metro Jaya mengatakan, ketiga muncikari ini memasarkan layanan seks dari sejumlah selebritas lewat media sosial.
Keempatnya kini menghadapi ancaman pasal berlapis. Keempatnya dijerat UU 19/2016 tentang ITE Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 mengenai distribusi konten asusila. Khusus untuk ketiga muncikari, mereka juga terjerat UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2 ayat 1, ditambah KUHP Pasal 296 dan 506 mengenai praktik muncikari.
Perspektif pekerja seks sebenarnya korban sementara pengguna jasa adalah pelaku, didasari temuan Komnas Perempuan. Didapati bahwa tak ada perempuan yang dengan senang hati mau menjadi pekerja seks. Perempuan yang masuk bisnis tersebut, menurut pantauan Komnas, umumnya berlatar korban kekerasan seksual, KDRT, dan perdagangan orang.
Seperti umumnya kasus penggerebekan prostitusi artis, polisi tak mengungkap siapa penerima seks berbayar dengan tarif Rp30 juta tersebut. Menanggapi desakan Komnas Perempuan agar pelanggan turut diproses hukum, Polda Metro Jaya menganggapnya permintaan berlebihan.
“Terlalu berlebihan Komnas Perempuan me-refer UU human trafficking. Apa yang dilakukan oleh artis CA dengan konsumennya adalah urusan yang bersifat personal di mana hukum tidak bisa masuk ke wilayah yang sifatnya privat,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan seperti dilansir JPNN.
Dikutip CNN Indonesia, dosen hukum pidana Universitas Indonesia Nathalina Naibaho menjelaskan, pengguna jasa prostitusi tak bisa dipidana karena tindakannya tergolong kejahatan tanpa korban. Perkecualiannya jika ada peraturan daerah setempat yang melarang seseorang membeli layanan seks.
Adapun dalam salah satu artikelnya, situs Hukum Online mencontohkan Perda DKI Jakarta 8/2007 Pasal 42 ayat 2 yang mengancam pidana 20-90 hari penjara atau denda Rp500 ribu-Rp30 juta bagi konsumen seks. Perkecualian lainnya ialah sanksi disiplin bagi anggota TNI dan Polri, serta hakim dan anggota DPR yang mendatangi tempat prostitusi.
Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, HAS Natabaya, dalam kajiannya ketika menjadi ahli sidang judicial review KUHP pada 2016, menyebut pemidaan konsumen jasa seks merupakan wewenang DPR dan pemerintah. Dia menyatakan, potensi ke arah sana sebetulnya terbuka dalam RKUHP.
“Meskipun KUHP tidak mengatur hal demikian, akan tetapi di dalam Rancangan KUHP Pasal 483 ayat (1) huruf e tersebut telah disusun konstruksi hukum yang mengenakan pidana terhadap orang yang melakukan perzinahan, walaupun tidak dalam perkawinan,” ujar Natabaya.