Politikus Tunisia Abir Moussi mengalami serangan fisik di hadapan rekan-rekan parlemennya. Insiden yang terjadi pada 30 Juni 2021 tersebut memicu kekhawatiran lebih luas tentang risiko meningkatnya kekerasan politik di negeri kawasan utara Afrika itu.
Dalam rekaman video yang beredar di media sosial, anggota parlemen independen Sahbi Samara terlihat bangkit dari tempat duduk lalu menghampiri Moussi yang sedang berbicara. Samara sekonyong-konyong memukulnya dengan keras, baru berhenti setelah dilerai anggota lain.
Pemerintah dan kelompok HAM mengutuk aksinya. Mereka menunjukkan, serangan fisik dan verbal seakan telah menjadi santapan sehari-hari anggota parlemen Tunisia dalam setahun terakhir.
Moussi merupakan oposisi sayap kanan yang merindukan rezim otokratik di Tunisia dan selalu berselisih dengan gerakan politik Ennahda. Dia dihajar setelah menentang kesepakatan yang diusulkan pemerintah dan lembaga Qatar Fund for Development. Pada saat debat di parlemen, Moussi tampak memulai siaran langsung di Facebook sambil mengucapkan, “Lihat, beginilah pemerintah menjual negara kita…”
Samara, yang menyaksikan itu, langsung berdiri dan menyerangnya. Moussi menulis, “Seperti inilah wajah asli mereka… kekerasan… menyerang perempuan… memfitnah perempuan… hegemoni… pelanggaran” pada caption video.
Moussi memimpin Free Destourian Party, yang memenangkan 17 kursi saat pemilihan umum 2019. Dia yakin revolusi Tunisia yang menggulingkan mantan Presiden Zine El-Abidine Ben Ali pada 2011 ditunggangi pihak asing. Dia terang-terangan menyatakan keinginannya kembali ke zaman Ben Ali.
Dia mati-matian menolak politik Islam, dan sering memakai helm dan rompi anti peluru ketika menghadiri pertemuan parlemen.
Pada Kamis, Liga Hak Asasi Manusia Tunisia melayangkan pernyataan yang mengecam serangan terhadap Moussi. “Serangan mencolok itu terkait dengan mentalitas terbelakang kelompok Salafi yang telah melanggar semua nilai-nilai kemanusiaan, yang ditunjukkan melalui rendahnya perilaku beberapa anggota parlemen.”
Namun, Presiden Tunisia Kais Saied menyiratkan bahwa Moussi sengaja merencanakan insiden ini, menggambarkan kekerasan sebagai bagian dari “teater yang sedang berlangsung di sejumlah lembaga negara… sutradara dan aktor gagal melakukannya.”
Meskipun demikian, dia tidak membenarkan tindakan Samara. “Walau kita tidak sependapat dengan orang yang menjadi korban kekerasan, siapa pun yang melakukan kekerasan wajib dihukum, terutama jika itu terjadi di dalam lembaga negara.”
Tunisia dihadapkan pada serangkaian masalah keamanan, serangan teroris dan penurunan ekonomi dalam dekade yang telah berlalu sejak Arab Spring (Pemberontakan Arab), dan memburuk selama pandemi. Namun, ini sering dianggap sebagai satu-satunya “kesuksesan” dari pemberontakan. Gerakan Ennahda dipuji-puji karena berhasil membawa Tunisia keluar dari pemerintahan presiden abadi.