Orang Amerika yang telah divaksin sudah bisa melepas masker mereka, menurut pedoman yang diperbarui Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS pekan lalu. Wajah mereka kini bebas tanpa penutup.
Namun, di Jepang, ilmuwan melihat adanya kecenderungan untuk terus mengenakan masker. Alasannya tak melulu karena ingin melindungi diri atau takut ketularan penyakit. Orang-orang seperti ini diyakini mengalami “ketergantungan masker”.
Pertama kali diciptakan oleh konselor Yuzo Kikumoto, istilah tersebut menjelaskan keadaan seseorang mengenakan masker karena alasan selain kebersihan, seperti anonimitas atau kecemasan. Straits Times melansir, sepanjang 2009-2017, jumlah klien Kikumoto yang menunjukkan gejala ketergantungan masker naik 50 persen. Sekitar 60 persennya berjenis kelamin perempuan.
Ibu rumah tangga Akari Yamamoto mengungkapkan, putranya yang baru tujuh tahun mulai mengalami ketergantungan selama pandemi. Dia menggunakan nama samaran karena tidak mau kenalannya mengetahui kondisi buah hati.
Perempuan yang tinggal di Yokohama itu menjelaskan, putranya tetap memakai masker meski taman bermain atau jalanan sepi tidak ada orang. Dia “enggan membuka masker” di dalam rumah, bahkan ketika tidak ada tamu yang berkunjung. “Di luar, dia cuma melepas masker kalau sedang makan,” tuturnya.
“Kadang-kadang dia merasa tidak nyaman, sampai-sampai dia memaksa makan sambil tetap pakai masker. Dia bilang tidak ingin orang lain melihat wajahnya,” imbuh sang ibu.
Menurut surat kabar Jepang Yomiuri Shimbun, pemakaian masker sudah membudaya ratusan tahun lamanya di Negeri Sakura, tepatnya sejak awal Flu Spanyol mewabah. Orang mengenakan masker sudah menjadi pemandangan sehari-hari di sana, terutama saat musim flu atau alergi musim semi. Karena itu jugalah masyarakat Jepang dipuji-puji atas rendahnya tingkat penularan COVID-19.
Namun, peneliti Jepang memperhatikan semakin banyak orang pakai masker karena kecemasan sosial. Dikutip Strait Times, Kikumoto yakin ketergantungan ini diperparah oleh meningkatnya penggunaan media sosial. Dia menganggap masker seperti “selimut keamanan”.
Dalam penelitian yang terbit pada 2018, psikiater Noboru Watanabe dari Kantor Medis Akasaka menemukan masker dapat menyembunyikan kecemasan dan kegugupan pemakainya, meski ketergantungan masker dapat memperburuk gangguan kecemasan sosial.
Watanabe juga mengklaim, ketergantungan pakai masker sejenis dengan kecanduan proses — konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog klinis Amerika Anne Wilson Schaef. Berbeda dari ketergantungan alkohol atau narkoba yang melibatkan benda fisik, kecanduan proses terjadi ketika seseorang merasakan kedamaian dari suatu tindakan. Contoh yang paling sering terjadi yaitu berjudi, seks atau penggunaan internet berlebihan.
Putra Yamamoto harus memakai masker dari awal masuk SD tahun lalu, sehingga teman-temannya sangat jarang melihat wajah dia.
“Saya khawatir dia takut berinteraksi dengan orang lain. Dia wajib mengenakan masker dan diajarkan cara menjaga jarak di sekolah. Pada musim panas 2020, dia tidak pernah melepas masker saat di luar,” ujar Yamamoto.
Yamamoto berharap anaknya tak lagi ketergantungan dengan masker, tapi khawatir tidak ada solusi yang bisa dilakukan segera.
“Saya sudah melapor ke pihak sekolah, dan bahkan berkonsultasi dengan psikolog anak. Tapi mereka hanya bisa bilang, ‘Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang.’ Mereka benar. Saat ini, rumah adalah satu-satunya tempat kita bisa melepas masker dengan aman. Tidak ada cara untuk menyembuhkannya.”
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.