Berita  

Anak Perempuan di Afghanistan Bisa Sekolah Lagi, Tapi Cuma 3 Hari

Anak-anak perempuan di suatu provinsi di Afghanistan kembali mendapatkan kesempatan bersekolah, namun sayangnya hanya sesaat.

Empat sekolah menengah putri di Gardiz, ibu kota provinsi Paktia di Afghanistan timur, mulai mengizinkan murid-muridnya belajar di sekolah sejak Selasa (6/9) pekan lalu. Hal serupa juga terjadi di suatu SMA di distrik Samkani, yang memperbolehkan pelajar perempuan masuk seperti sediakala.


Kabar gembira itu cepat menyebar ke seantero negeri. Namun, alih-alih menginspirasi sekolah lain mengikuti jejaknya, harapan pupus seketika begitu beritanya sampai ke telinga Taliban. Kegiatan pembelajaran terpaksa dibubarkan saat Taliban mendatangi sekolah-sekolah tersebut empat hari kemudian.

Sejak merebut kekuasaan dari pihak Barat tahun lalu, Taliban berjanji pemerintahannya kali ini akan memperlakukan perempuan secara lebih adil. Taliban mengklaim kaum perempuan bisa tetap mengejar pendidikan di bawah rezim terbarunya. Namun, praktiknya di lapangan berbeda dengan apa yang telah dijanjikan. Pelajar perempuan berusia 11 tahun ke atas telah dilarang bersekolah sejak September 2021. Bahkan pada Maret lalu, Taliban membatalkan keputusannya mengizinkan perempuan bersekolah karena khawatir terjadi pelanggaran norma-norma “budaya”, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut apa yang mereka maksud.

Setelah Taliban menutup paksa sekolah pada Sabtu, puluhan pelajar beraksi di depan gedung dinas pendidikan kota Gardiz untuk menuntut hak mereka memperoleh pendidikan.

Akses pendidikan untuk perempuan menjadi satu-satunya kemajuan dari pemerintahan baru Afghanistan setelah Taliban berhasil diusir dua dekade lalu. Jumlah perempuan yang mengenyam bangku sekolah meningkat drastis, dari yang tadinya nol menjadi 2,5 juta orang. Dengan kembalinya Taliban ke Kabul, ada kekhawatiran masa lalu kelam terulang lagi, dan hilangnya kesempatan bersekolah bagi tiga juta anak perempuan.

Sampai saat ini, isunya masih menjadi bahan tawar-menawar bagi Taliban untuk menarik hati negara-negara tetangga. Hal ini dilakukan guna menghindari konsekuensi diasingkan dunia internasional yang dapat membawa Afghanistan ke ambang kemiskinan. Namun, pada saat bersamaan, Taliban berpegang teguh pada pendiriannya dan tak kunjung mengizinkan perempuan kembali ke sekolah.

Apa pun keputusan akhir yang diambil Taliban nanti, penegakan HAM di Afghanistan telah mengalami kemunduran sejak mereka berkuasa, terutama bagi kaum perempuan. Hal ini dibuktikan dalam laporan bulanan yang mencatat segala pelanggaran HAM yang terjadi di negara tersebut.

Pada Senin, misi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan mengungkapkan kekhawatirannya terkait “pola insiden pelecehan” yang menimpa tenaga perempuan mereka saat berurusan dengan pasukan Taliban.