Satu-satunya hal yang pasti dalam hidup adalah kematian. Dari awal seseorang terlahir ke dunia, telah ditentukan kapan mereka akan menemui ajalnya. Akan tetapi, kita sebagai manusia biasa tidak dapat memastikan kapan hari itu akan tiba, sehingga kematian terasa begitu menakutkan.
Rasa takut itu kerap menandakan ketidaksiapan kita untuk mati dan dilupakan oleh orang-orang terkasih. Kita juga khawatir akan meninggalkan dunia ini dengan penuh penyesalan. Terlebih lagi, ada satu pertanyaan yang tidak dapat kita hindari setiap kali memikirkan kematian. Kesan seperti apa yang ingin kita tinggalkan di dunia fana ini?
Saya mengajak ngobrol empat orang teman untuk mengetahui pandangan mereka soal kematian. Saya juga mencari tahu kata-kata apa yang ingin mereka tulis di batu nisannya. Setelah bercakap-cakap dengan mereka, saya bisa memastikan kematian tak pernah jauh dari penyangkalan, penyesalan dan hal-hal menyedihkan.
Segalanya bisa hancur’ – An-Josefien, 31 tahun
“Saya selalu memikirkan mau bikin tulisan apa di batu nisan, dan langsung mencatatnya di buku kalau dapat ide bagus. Saya bahkan memposting idenya ke Twitter, tapi sekarang saya sudah menghapus aplikasi itu dari hape. Sejauh ini, ide terbaik saya jatuh pada ‘Segalanya bisa hancur’ karena jasad kita pasti akan hancur setelah mati.
Saya kepikiran begini karena saya telah melalui berbagai kepahitan dalam hidup. Saya depresi sejak usia sembilan tahun, dan didiagnosis mengalami Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dua tahun kemudian. Saya baru sadar pentingnya menikmati hidup setelah mencoba bunuh diri pada usia 14 tahun. Saya bahkan pernah kecelakaan beberapa tahun lalu, dan saya sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup.
‘Lorem ipsum’ – Céleste Renard, 21 tahun
“Saya pribadi belum bisa membayangkan gimana jadinya kalau suatu saat nanti saya meninggal. Mungkin karena umur saya relatif masih muda, atau karena saya belum pernah ditinggal orang tersayang, jadi saya sulit memikirkan soal kematian. Biarpun begitu, kadang-kadang saya membayangkan seperti apa reaksi keluarga dan teman-teman jika saya meninggal besok. Siapa saja yang akan datang ke pemakamanku? Siapa yang akan menangisi kepergianku? Tapi saya sadar, pikiran-pikiran ini hanya untuk memuaskan ego. Sementara ini, saya cuma terpikir kata ‘Lorem ipsum’ [teks standar] untuk ditulis di batu nisan.
Kita akan menjadi kenangan setelah mati, dan tidak akan terlahir kembali ke dunia… benar-benar tinggal kenangan. Makanya, kalau saya meninggal nanti, saya ingin orang-orang tersenyum saat memikirkan kehadiranku di hidup mereka.”
‘Inikah yang sangat saya takuti?’ – Matthias, 31 tahun
“Kematian bikin saya parno sejak kecil. Di saat anak-anak seumuran saya tidak sabar bertumbuh dewasa, saya takut bertambah usia karena tidak mau mati.
Saya awalnya mengira telah berhasil menyingkirkan ketakutan itu setelah masuk usia remaja, tapi ternyata saya salah. Enam bulan lalu, saya tiada henti mengalami serangan panik karena gaya hidup yang kurang sehat. Tubuh saya juga kelelahan secara berlebihan. Saya sampai harus menata ulang hidup untuk mengatasi gangguan kecemasan. Selama menjalani proses ini, saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri, apa sih sebenarnya yang bikin saya takut mati.
Tentunya tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan gampang, tapi saya akhirnya menyadari salah satu alasannya karena saya khawatir tidak menjalani hidup semaksimal mungkin. Saya yakin tak ada satu pun orang di dunia ini yang ingin diliputi penyesalan ketika menunggu ajal. Namun, kekhawatiran inilah yang akhirnya membuat kita tertekan luar biasa. Kita pada dasarnya tidak pernah benar-benar menikmati semua momen yang terjadi dalam hidup — atau setidaknya tidak untuk waktu yang lama.
Belum banyak yang menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dikejar. Ada kalanya kita tetap merasa cemas atau depresi meski kehidupan kita sebenarnya baik-baik saja. Pada saat-saat seperti ini, kita mungkin akan menyuruh diri untuk bersyukur, tapi nyatanya itu bisa memperburuk perasaan kita.
Saya belajar menerima hidup apa adanya selama enam bulan terakhir. Kadang-kadang saya masih suka FOMO (takut tertinggal), tapi setidaknya pikiran buruk itu tak lagi bersarang di otak saya sepanjang waktu. Sekarang, alih-alih memusingkan pencapaian hidup, saya memikirkan hal-hal yang mampu membuat pikiran lebih tenang; seperti menghabiskan waktu bersama orang terkasih, bertemu orang-orang yang menginspirasiku, dan fokus mengasah keterampilan kreatif yang bisa bikin saya lebih bersemangat. Saya sudah jarang mengalami serangan panik berkat itu semua.
‘Saya akan menghantui kalian kalau tidak mengirim foto batu nisan ini ke lima orang.’ – Assia, 33 tahun
“Saya ingin meninggalkan kesan yang berarti setelah meninggal dunia, makanya saya tertarik bikin batu nisan yang tidak biasa. Harapannya saya bisa tetap ‘berinteraksi’ dengan orang di sekitar meski saya sudah tiada. Hidup saya baru lengkap setelah membuat orang tertawa ketika melihat batu nisan saya.
Selain itu, saya terinspirasi oleh seniman-seniman yang baru saya ketahui setelah mereka meninggal dunia. Bagi saya, rasanya seperti terhubung langsung dengan sang seniman ketika menikmati karya mereka.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgium.