*Wawancara sekaligus ulasan ini memuat plot dan konflik utama cerita film ‘Ali & Ratu Ratu Queens’
Kesanku setelah dua kali menonton Ali & Ratu Ratu Queens adalah terharu. Tapi rupanya dua temanku yang sama-sama perempuan punya sikap lain. Mereka kesal banget sama tokoh Mia, si ibu yang ninggalin suami dan anaknya buat ngejar mimpi jadi penyanyi jazz di New York.
“Mia itu egois, b*t!” teman pertama ngomel di grup WA pagi-pagi. “Aku kalau jadi Ali enggak bakal sudi.” “Anak jadi korban!”
Teman kedua mengutarakan kesannya dengan cara lebih tenang, tapi isinya tak jauh berbeda. “Aku, jujur, melihat Mia dari awal sampai akhir antagonis.”
Tulisan ini bukan kritik film. Aku dan teman-temanku cuma penonton yang tenggelam dalam cerita Ali & Ratu Ratu Queens. Sisa artikel ini selanjutnya adalah caraku memahami posisi Mia. Ada yang bilang film ini tentang keluarga, pekerja migran, dan seterusnya. Buatku, yang menyita perhatian justru gambaran dilematis tentang peran ibu.
Memahami Mia dari kacamata dua generasi
Media sosial membuat tahun-tahun belakangan kita akrab dengan curhat para ibu. Kusebut satu topik yang bahkan jadi pertengkaran antara sesama perempuan: pembagian status antara ibu yang sepenuhnya mengurus rumah tangga vs ibu yang bekerja. Debat itu enggak akan pernah selesai, tapi sedikit demi sedikit ada kesadaran di antara keluarga, para suami, dan sesama ibu bahwa menjadi ibu harusnya bukan batasan bagi perempuan untuk mewujudkan mimpi personalnya.
Hematku, tragedi dalam hidup Ali (dan Mia dan Hasan) mestinya tak perlu terjadi kalau di antara suami istri itu ada kesepahaman. Kita enggak tahu kenapa Mia berkukuh harus merintis karier jazz di New York. Maksudku, di sepanjang dekade ’70-an, alias jauh sebelum Mia berangkat ke Amerika Serikat, Indonesia sudah punya sederet musisi jazz kenamaan kayak Rien Djamain dan Ermy Kulit, atau Ireng Maulana dan Jack Lesmana.
Aku sempat menanyakan motivasi Mia yang keinginannya ke New York tak bisa ditawar lagi itu kepada Muhammad Zaidy, produser Ali & Ratu Ratu Queens sekaligus penggagas cerita. Edy, panggilan Zaidy, bilang bahwa Mia emang rada naif.
“Yang memang kita design dalam backstory-nya adalah si Mia ini aspiring jazz singer, pengin banget menjadi jazz singer, datang ke New York. Mungkin juga dia melihat kesempatan untuk punya cita-cita menembus Broadway dan menjadi jazz singer di New York. Karena itu adalah impiannya selama ini,” kata Zaidy kepada VICE.
Kalau Hasan memang mendukung hasrat istrinya, dia bisa, misalnya, menyarankan Mia untuk memulai kariernya di dalam negeri. Dia juga punya opsi untuk memberi Mia waktu lebih lama di New York. Tapi itu tak terjadi. Kurang jelas, apakah Mia memang tak cukup bisa mengartikulasikan niatnya dengan baik sehingga sang suami tak cukup ikhlas mendukungnya. Mereka juga tak mampu membiayai ongkos bolak-balik Jakarta-New York. Seperti jalan buntu, perceraian tak terelakkan.
Adapun perceraian Mia dan Hasan adalah potret sebagian besar suami-istri di Indonesia ketika memutuskan berpisah. Menurut data Mahkamah Agung 2016-2018, sebanyak 46,6 persen perceraian disebabkan pertengkaran, lalu 28,2 persen karena masalah ekonomi. Tren itu masih berlanjut hingga pandemi.
Tapi bukan cuma keluarga yang tak bisa memahami dan memfasilitasi apa yang Mia mau. Persis dunia nyata, tekanan kepada pilihan Mia datang pula dari sesama perempuan. Simpati Biyah, Ance, dan Chinta kepada Ali yang ditolak ibunya membuat mereka sinis kepada Mia. Mereka mempraktikkan konsep yang disebut toxic femininity untuk menilai Mia.
Istilah ini harus kupakai karena baik Biyah, Chinta, maupun Ance punya kesempatan untuk tidak menghakimi siapa pun. Itu kalau mereka bersimpati pada Mia. Tapi mereka tampaknya tak peduli bahwa situasi membuat Mia harus terpisah dan kemudian menolak anaknya. Yang mereka camkan, seorang ibu haruslah menerima anaknya.
Ini berbeda dengan sikap Eva (Jennifer Aurora Ribero) yang sebaya dengan Ali dan dalam segera menjadi support system Ali. Ia malah tak menunjukkan penilaian apa pun pada konflik Mia dan Ali. Dalam wawancara kami, Aurora menjelaskan tafsirnya pada karakter Eva.
“I feel like, Eva, a part of her, ngertiin Mia. That’s why she’s like in the middle and also supportive with Ali. Kayak, she knows he’s hurt, tapi also at the same time mamanya juga is hurt gitu.”
Toxic femininity adalah konsep yang kurang banyak dibicarakan, meski sama beracunnya dengan toxic masculinity. Keduanya adalah istilah yang bersaudara. Jika toxic masculinity adalah bayangan tentang “kodrat” laki-laki, toxic femininity adalah bayangan tentang “kodrat” perempuan. Bayangan, atau harapan tentang peran kedua gender, itu akan menekan siapa saja yang melanggarnya: laki-laki yang kemayu, perempuan yang memilih tak punya anak, bapak yang tak bekerja, ibu yang tak bisa masak, dan seterusnya.
Serangan berbau toxic ini bisa datang dari mana pun. Khusus kepada para ibu, mereka yang pernah dihujat tak bisa menjaga bentuk tubuh oleh suami, dicerca sebab tak bisa melahirkan anak laki-laki oleh mertua, atau menyesali diri sendiri karena tak mampu berdandan—semua itu adalah toxic femininity.
Eddy ikut menimpali bahwa sikap Eva bisa jadi dipengaruhi usianya. “Eva is a character part of Gen Z, yang juga bisa memahami apa yang Ali rasakan. Tentunya ada gap dengan ibu Ratu Ratu Queens ini—apart of Party yang mengenal Mia—yang dengan naluri keibuannya, protektifnya terhadap seorang anak yang pengin banget reunited dengan ibunya tapi menemukan banyak obstacle. […] Eva mungkin lebih open minded, Gen Z, dan born and raised in New York, jadi tentunya she’s more open and lebih less judgemental dibanding ibu-ibu yang kita bisa paham juga, pasti banyak juga ibu yang akan melakukan hal yang sama [dengan Ratu Ratu Queens].”
Tampaknya juga karena umur, Ali bisa berdamai dengan ibunya meski harus mengemis cinta dan dihantam berkali-kali penolakan. Memang mudah untuk membenci Mia ketika film ini menggambarkan penolakan itu dengan sangat kejam dan menyakitkan.
“Ali sebagai anak tuh kurangnya apa sih, Ma?” gugat Ali.
“Kamu harus pulang!”
“Kenapa? Kenapa? Kenapa?”
“Just hate. Just go.”
Pengampunan Ali untuk ibunya adalah hal yang mulanya bikin aku bingung. Bagaimana bisa anak 19 tahun ini demikian pemaaf? Hal itu kutanyakan kepada Iqbaal Ramadhan, pemeran Ali. Iqbaal punya tafsirnya sendiri.
“Saya merasa film ini salah satunya adalah tentang alienation vs belonging. Di society di Jakarta, di Indonesia, Ali itu merasa alienated, dia merasa enggak belong di sini. Dia merasa yang bisa mengerti dirinya itu ya hanya ibunya aja. Begitu pun mungkin dengan Mia. Itu kenapa akhirnya mereka punya kecocokan. Bahwa di kepalanya Mia dia lebih dari sekadar ibu dan istri; dia lebih dari sekadar perempuan yang dituntut untuk melakukan kewajiban seperti bagaimana society menuntut dia gitu. […] Kayaknya ada bond dan relationship gitu yang hanya bisa dimengerti mereka berdua; sama Ali, sama Mia,” jawab Iqbaal.
“Itu juga, menurut saya, kenapa Ali sesakit hati itu ketika awal tidak di-welcome dan segala macam, tapi juga secepat itu akhirnya bisa mengerti. Karena memang satu-satunya orang yang yang bisa paham Ali ya hanya, hanya Mia gitu. Ada bond ibu dan anak yang sangat kuat dan tidak bisa dijelaskan lagi kenapa sebenernya Ali sampai mau melakukan itu. Plus, Ali beneran enggak punya siapa-siapa lagi kan, kalau di Indonesia. Maksudnya ‘siapa-siapa’ orang itu, yang mengerti dia luar dalam, atas semua yang dia mau. Itu menurut saya rasionalisasi kenapa akhirnya Ali bisa memaafkan.”
Beda sikap antara keluarga Bude beserta trio Ance, Biyah, Cinta dibanding Eva dan Ali bisa dianggap sebagai simbol transformasi cara pandang dua generasi (di Indonesia). Keluarga Bude, dengan segala pengetahuan mereka tentang alasan Mia tak kembali ke Jakarta, berkukuh menolak menganggapnya tetap bagian dari keluarga. Kelompok Ance, Biya, dan Chinta langsung menghakimi penolakan Mia pada Ali sebagai bentuk tidak bertanggung jawab.
Dengan perangkat nilai yang berbeda, generasi ali dan Eva bisa bersimpati bahwa Mia juga terluka dan bahwa mimpi, cita-cita, adalah sesuatu yang prinsipil dan harus diperjuangkan. Kini kita tahu apa prioritas kedua generasi ini ketika memandang masalah peran gender. Kurasa aku bisa bilang, generasi Ali dan Eva lebih bersih dari toxic femininity.
‘Kenapa Ali enggak nyari ibunya di medsos dulu?’
Usai penayangan Ali & Ratu Ratu Queens, berbagai tanggapan penonton bisa ditemukan di media sosial. Mulai dari yang bingung gimana cara Ali lolos wawancara visa kalo dia belum booking hotel di New York sampai kritik glorifikasi beasiswa di film ini. Dari masalah kenapa penulisan “Ratu Ratu Queens” enggak ada setripnya, pujian ke soundtrack yang ciamik, sampai amatan kritikus film Eric Sasono tentang gejala baru film-film Indonesia menyajikan kinship sebagai alternatif relasi heteronormatif.
Di mataku, kelebihan film ini adalah berbagai karakternya kuat. Cut Mini yang hadir sekilas sebagai bude-bude PNS sangat berkesan buatku, yah walau bahasa Jawanya aneh (“Ojo makan babi!”). Juga ada Asri Welas yang bisa nyiptain gong di segala suasana. Tentu yang terbaik adalah Marissa Anita dan Iqbaal Ramadhan yang bisa meyakinkan penonton kalau mereka emang ibu-anak dengan hubungan rumit.
Di lain pihak, walau ini bukan kekurangan, aku bertanya-tanya mengapa film ini tak betah membuat dialog-dialog panjang. Juga satu hal lain. Komedinya sih berhasil, bagian emosional terasakan dengan baik, cuma aku kurang nyaman dengan penjelasan latar masalah yang dikebut.
Karena bahasan di atas udah terlalu serius, aku memilih menanyakan hal-hal trivial kepada Edy, Iqbaal, dan Aurora dalam wawancara via video conference yang difasilitasi Netflix Indonesia, pertengahan Juni lalu.
VICE: Ketika niatnya memotret pekerja migran Indonesia, kenapa latar Ali & Ratu Ratu Queens bukan di Arab Saudi?
Edy: Karena itu akan menjadi film yang berbeda. Kita mungkin akan bercerita tentang TKW, seperti yang dulu dibuat Lola Amaria, Minggu Pagi di Victoria Park. Nah, [Ali & Ratu Ratu Queens] ini spesifik tentang para perantau, para ibu perwakilan dari diaspora Indonesia, working class people tapi mereka bukan TKW, yang hidupnya di Queens.
Ini pertanyaan iseng. Kenapa Ali enggak nyari ibunya di medsos dulu?
Iqbaal: Ini menarik karena pasti temen-temen Mbak semuanya main socmed kan? Saya juga berpikir gitu, sampai saya ketemu Marissa Anita. Dia enggak main Instagram coba. […] Saya yakin sekali kalo misalnya sudah di New York selama 13-14 tahun gitu terus ketemu sama lingkungan yang “Social media is nothing, man,” kayak biasa aja gitu enggak kaya di Jakarta, itu kayaknya menjadi sesuatu yang normal. Itu mendorong inisiatif Ali untuk, “Anjir, gue berarti emang harus ke sana, kan ga ada [cara lain buat] nyari nyokap gue.”
Apa sih yang bikin Eva mau diajak jalan sama Ali untuk pertama kali?
Aurora: Pas lihat Ali tuh, Eva… karena mungkin umur juga kan dekat and also Eva merasa familiar sama Ali… ngerasa deket gitu sama dia. Karena melihat dia jauh-jauh dari Jakarta terus ke New York, Eva juga adore itu banget gitu. Keberanian si Ali ini, Eva adores it. Also dia kan bakat menggambar. Terus Eva tahu di dalam dirinya [Ali] tuh banyak potensi yang belum dia keluarin.
Mereka pacaran enggak sih?
Aurora: I feel karena mereka bener-bener support satu sama lain aja, they wanna be there for each other, gitu ya. Apalagi Eva tahu [penolakan ibunya] itu susah buat Ali, and she wants to be there for him.
Apa arti adegan Ali yang muntah setelah ketemu ibunya?
Iqbaal: Menurut saya itu sesuatu respons alami yang apa ya…. Itu dari awal saya baca, buat saya bukan suatu pertanyaan karena saya bisa berempati secara langsung sama Ali, membayangkan belasan tahun tidak bertemu, lalu bertemu, lalu direspons seperti itu. Itu buat saya hal normal sih. Buat saya ya. Sebenernya saya tidak terlalu banyak argumen sama Mas Lucky [Lucky Kuswandi, sutradara] ketika harus ada adegan tersebut.
Mengapa Ali tiba-tiba menarikan gerakan tanpa gravitasi yang diajarkan di kelas Eva? Apa maknanya?
Kalau buat saya, itu sebenernya the moment of liberation sih. The moment of fluids, the moment that changes Ali’s life. Karena sebelumnya kan sudah di-planting di kelasnya si Eva, anak-anak bisa gitu melakukan hal-hal tersebut, tapi Ali enggak punya courage, enggak punya reason untuk melakukan itu. Menurut saya sih, sebagai sebuah metafor atas penerimaan, ikhlas, atas apa yang terjadi. Hidup itu something just not meant to be.
Jadi itu penanda dia sudah berdamai sama ibunya?
In a way. Tapi enggak tahu. Orang kayaknya punya interpretasi masing-masing. Saya enggak mau memaksakan misalnya ada [tafsir lain].
Di empat film Iqbaal berturut-turut: Dilan 1990, Dilan 1991, Bumi Manusia, dan sekarang Ali & Ratu Ratu Queens, kamu selalu ditampilkan sebagai sosok yang punya ikatan kuat dengan ibu. Menyadari hal itu enggak?
Iqbaal: Enggak, hahaha.
Pernah khawatir bakal terjebak peran “anaknya ibu” terus?
Iqbaal: Mmm, enggak juga sih. Saya yakin saya sebagai aktor dan seniman peran, saya bisa ngerasain genuin dan sincerity-nya orang yang memang pengin bekerja sama saya karena merasa saya mampu melakukan sesuatu, atau ya pengin bekerja gara-gara saya mampu mendapatkan apa yang mereka mau gitu. Saya kayaknya di tahap itu sih, dan saya enggak pernah punya satu perasaan hanya akan stuck di satu karakter. Kalau saya pribadi, saya orangnya open sekali.
Itu persepsi orang sih, “Oh iya, dia tetep gini kan, tetep gitu kan.” Itu menurut saya sesuatu yang enggak harus saya ubah. Dan saya berikan tanggung jawabnya kepada audiens. Bukan tanggung jawab saya untuk membuktikan apa pun kepada siapa pun.