Setelah seharian bekerja, kalian mungkin akan buka Instagram untuk mencari hiburan yang dapat menghilangkan penat. Sesekali iklan yang menawarkan lilin aromaterapi, aplikasi meditasi, mi goreng sehat atau paket spa lewat saat kalian asyik nge-scroll.
Di InstaStory, beberapa influencer berceloteh tentang pentingnya “me time” di tengah pandemi. Seorang teman memamerkan habis ikut kelas yoga. Praktik menyayangi diri semacam ini lebih dikenal dengan sebutan “self-care”. Tapi anehnya, semakin ke sini, tindakan merawat diri yang bersifat pribadi semakin bergerak ke arah yang menguntungkan industri.
Awal tahun ini, perusahaan konsultan memperkirakan “pasar wellness global” bernilai $1,5 triliun (Rp21 kuadriliun), dengan pertumbuhan tahunan 5 hingga 10 persen. Seperti yang bisa kalian lihat sendiri di media sosial, gaya hidup sehat telah bertransformasi menjadi produk yang dikonsumsi. Sejak kapan self-care berubah arti jadi belanja? Kenapa praktik ini menjadi sangat boros?
Beberapa meyakini pertumbuhan sikap memanjakan diri yang marak di industri self-care saat ini bisa ditelusuri sejak awal istilah tersebut diadopsi. Istilah “self-care” diyakini berasal dari kalangan aktivis kulit Hitam pada 1980-an, melalui feminis Audre Lorde yang menulis: “Merawat diri sendiri tak sama dengan memanjakan diri. Itu tindakan pemeliharaan diri dan perang politik.” Pada masanya, merebut kembali perawatan kesehatan dianggap sebagai tindakan politik melawan institusi kesehatan yang rasis dan seksis.
Tindakan radikal yang disebut perawatan diri ini awalnya dimaksudkan untuk melawan sistem, tapi sekarang dirombak oleh kapitalisme dan feminisme kulit putih sebagai hal yang mendukung sistem tersebut. Jika kita harus mengonsumsi produk untuk merawat diri, bukankah itu artinya self-care hanyalah jeda sesaat dari kapitalisme? Membuat kita beristirahat hanya untuk menjadi mesin manusia yang lebih produktif?
Menurut penulis dan sejarawan Daniela Blei, budaya wellness modern dapat ditelusuri ke kelas menengah Eropa yang menganggap masyarakat industri abad ke-19 degeneratif. Mereka menciptakan budaya wellness yang disebut “reformasi kehidupan”, yang mencakup pola makan mentah dan retret eksklusif. Wellness sontak berubah menjadi estetika dan produk untuk dikonsumsi—awal dari industri wellness yang kita kenal sekarang.
Gagasan menjaga kesehatan yang dianut orang Eropa jelas berbeda dari yang terbentuk di budaya lain sebelum abad ke-19. Dewasa ini, banyak praktik tradisional dan spiritual suatu budaya (misal yoga, membakar daun sage atau dupa, dan “latte” kunyit) diberi sentuhan modern agar lebih estetik dan mementingkan diri sendiri—sangat berlawanan dengan nilai-nilai yang tertanam dalam budaya aslinya.
Sebagai contoh, yoga kerap dipandang olahraga fisik belaka, padahal ini bukan hanya tentang menyempurnakan gerakan downward dog atau handstand. Sutra Yoga Patanjali—salah satu teks klasik sejarah dan filosofi yoga—mengklasifikasikan delapan tahapan yoga. Latihan fisik yang disebut Asana hanyalah salah satunya. Meditasi, pengendalian napas dan cara menjalani hidup merupakan komponen penting lainnya yang berfungsi lebih dari sekadar memperbaiki postur atau mengencangkan bokong. Yoga juga mengajarkan “penyatuan”—menyatukan diri sendiri dengan alam.
Bukan hanya yoga yang memiliki asal-usul holistik dan anti-kapitalis. “Mindfulness” dalam ajaran Buddha dan Abrahamik menekankan pentingnya membuang jauh ego dan bersikap penuh kasih terhadap semua makhluk hidup. Tapi sekarang, orang mempraktikannya untuk melepas stres dan meningkatkan fokus kerja.
Kepercayaan spiritual masyarakat adat sering berakar pada kesadaran komunal dan ekologis. Mereka menghormati dan menghargai bumi, karena itulah mereka dikenal sebagai penjaga dan pelindung tanah. Ritual membakar daun sage tidak ada hubungannya dengan “membersihkan energi negatif” yang digaungkan industri wellness modern. Masyarakat adat melakukannya sebagai terapi pengobatan, serta dalam upacara dan ritual pemujaan terhadap bumi. Sayangnya, kapitalisme asal mencomot praktiknya dan menghilangkan konteks-konteks ini.
Banyak produk self-care modern yang tidak mementingkan kelestarian bumi. Tak sedikit merek athleisure populer yang masuk kategori “Kurang Bagus” di Good On You. Platform ini menilai merek berdasarkan dampaknya terhadap manusia, planet dan hewan. Rupanya, produk-produk yang diklaim bagus untuk kesehatan dan perawatan diri tidak berkomitmen membantu penurunan emisi atau memberikan upah yang layak bagi para pekerjanya.
Kristal favorit penganut wellness macam rose quartz dan amethyst sering kali diperoleh secara tidak etis, kecuali dinyatakan sebaliknya. Laporan investigasi The Guardian mengungkapkan industri kristal menjalankan penambangan yang berbahaya tanpa regulasi yang jelas. Gaji para penambangnya pun di bawah rata-rata.
Praktik wellness modern terlalu fokus pada perawatan diri sampai-sampai mereka lupa untuk peduli dengan hal lain, seperti bumi. Jadi tidak heran kenapa semua uang yang kita keluarkan untuk merawat diri dan meningkatkan kualitas hidup tidak membuat dunia ini lebih baik. Tidak aneh kalau bencana iklim semakin memburuk.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya? Kalian bisa memulai dengan mencari produk wellness yang sumbernya berkelanjutan, serta mengakui dari mana praktik wellness itu berasal—sebagai individu dan di industri. Kita juga perlu melihat ke dalam, melepaskan diri dari budaya wellness dan self-care yang terkomodifikasi dengan tidak memikirkan praktik-praktik ini sebagai sesuatu yang wajib kita konsumsi. Lebih baik jika kalian belajar dari praktisi holistik, lepas dari materialisme, dan lebih memedulikan sesama dan lingkungan. Untuk memperbaiki diri sendiri, kita juga harus menyembuhkan satu sama lain dan planet ini.
Follow Tammy Gan di Instagram.