Enam remaja Tonga yang dikabarkan hilang pada 1965, berhasil ditemukan dengan selamat oleh lelaki bernama Peter Warner lebih dari setahun kemudian. Penjelajah asal Australia itu terkejut ketika mengetahui mereka sudah 15 bulan terdampar di pulau terpencil Ata, 168 kilometer jauhnya dari tempat mereka mencuri kapal di Nuku’alofa.
Kapal yang mereka tumpangi rusak diterjang badai. Mereka terombang-ambing tanpa arah selama delapan hari, sebelum akhirnya mencapai daratan pulau Ata. Selama itu pula mereka tidak makan dan minum sama sekali.
Kisah mereka menarik perhatian dunia pada saat itu. Fotografer Sydney John Carnemolla bahkan ditugaskan ke pulau vulkanik tersebut untuk mengabadikan kehidupan mereka di sana. Peristiwa yang puluhan tahun terlupakan kembali beredar Mei lalu berkat artikel Rutger Bregman yang dimuat di The Guardian.
Keenam remaja tersebut belum pernah menceritakan pengalaman mereka ke media mana pun. VICE berhasil melakukan wawancara eksklusif dengan Sione Filipe Totau, salah satu lelaki yang terdampar di pulau Ata. Dengarkan cerita lengkap lelaki yang akrab disapa Mano dalam episode terbaru podcast Extremes di Spotify.
Saya lahir dan besar di Ha’afeva, sebuah pulau kecil di Tonga. Saya melihat betapa besarnya Fiji, Selandia Baru dan Australia ketika mulai belajar geografi dan sejarah. Saya pun berpikir, “gimana caranya keluar dari sini?” Saya ingin melihat dunia luar.
Suatu hari, teman sekolah berkata begini kepadaku: “Kita mau ke Fiji, nih. Kamu mau ikut, gak?” Dia lalu menceritakan rencananya mencuri kapal di pelabuhan. Tanpa ba-bi-bu, saya sontak berseru ingin ikut. Sepulang sekolah, kami berenam pergi melihat-lihat kapal di pantai. Seorang lelaki menyandarkan kapalnya di tempat yang sama setiap sore. Kami melepaskan ikatannya dan berlayar dengan kapal tersebut begitu sang pemilik pergi.
Usia kami berkisar 15-19 tahun saat itu. Di antara kami, ada satu anak yang sudah terbiasa berlayar. Ayahnya punya kapal yang sama dengan yang kami tumpangi. Kapal bergerak menjauhi pelabuhan setelah layarnya terpasang.
Malam sudah terlalu larut ketika kami meninggalkan Nuku’alofa. Angin mulai bertiup kencang, ombak pun semakin tinggi. Tak terpikirkan oleh kami untuk menurunkan layar saat badai menghantam kapal. Layar perahu hancur seketika terkena amukan angin.
Hujan turun keesokan harinya. Kapal kami terombang-ambing tanpa layar di tengah laut. Berhubung tidak bawa makanan sama sekali, kami hanya bisa bertahan dengan minum air hujan selama beberapa hari. Kami mengumpulkan airnya pakai kaleng yang ada di kapal. Teman-temanku mulai menangis, bingung harus bagaimana. Kami mencoba untuk tetap optimis, tapi sejujurnya saya takut mati di sana.
Kami melihat pulau Ata dari kejauhan delapan hari kemudian. Saat itu masih pagi — mungkin baru pukul sembilan — dan kapal kami bergerak perlahan ke arah sana. Kami berhasil mendarat di pulau tersebut pada malam hari. Selesai baca doa, saya menyuruh kelima teman untuk tetap di kapal sampai saya memastikan pulaunya aman.
Saya loncat dari kapal dan berenang melawan ombak. Setibanya di pulau, saya merasa sekelilingku berputar dengan cepat. Badanku lemas dan kehabisan tenaga karena tidak terisi apa-apa selama delapan hari. Setelah mengatur napas, saya berteriak ke arah kapal, “Aku ada di sini! Cepat kalian ke sini!”
Mereka semua berhasil berenang sampai ke pulau. Kami memanjatkan doa sambil berpelukan dan menangis.
Kami tertidur hingga siang hari. Hal pertama yang kami lakukan setelah bangun yaitu mencari cara naik ke atas tebing. Ketika sedang mendaki, saya tak sengaja menginjak sebatang kayu basah. Saya mengambil batang itu, lalu mematahkannya hingga berkeping-keping. Saya menekannya keras-keras dan menjilat tetesan air yang keluar dari batang. Itu minuman pertamaku setelah delapan hari.
Kami mengamati sekeliling sesampainya di atas tebing. Akhirnya kami bisa kembali ke daratan. Kami berpikir kemungkinan bertahan hidup di pulau jauh lebih besar daripada di atas kapal.
Kami berulang kali gagal membuat api unggun karena badan kami masih sangat lemah. Meskipun begitu, kami tak pernah menyerah dan terus mencobanya setiap hari. Kami naik turun tebing untuk mencari makanan, dari kerang, pepaya sampai kelapa. Begitu badan mulai bertenaga lagi, kami mampu menggosokkan kayu sekuat mungkin hingga mengeluarkan api. Butuh tiga bulan bagi kami untuk membuat api unggun yang sempurna. Kami senang bisa menyantap makanan hangat lagi.
Kami mendirikan gubuk kecil untuk berlindung. Sebagai satu-satunya yang bisa menganyam pelepah kelapa, saya menyelesaikan dinding pemisah dalam dua minggu. Kami meletakkan perapian di tengahnya, dan kami membelah daun pisang untuk melapisi tempat tidur.
Setelah itu, kami mulai merencanakan apa saja yang akan dilakukan setiap hari: bagaimana caranya agar api unggun tetap nyala, doa apa yang harus kami panjatkan, dan bagaimana merawat pelepah pisang agar tetap bagus. Kami bekerja sama seolah-olah kami sudah hidup lama di sana.
Dengarkan cerita lengkapnya di podcast Extremes. Hanya ada di Spotify.
Saya berdoa setiap hari agar bisa cepat pulang ke rumah, kembali ke pelukan keluarga. Kira-kira sebulan setelah tinggal di pulau, kami mulai merakit perahu. Kami menebang pohon dan memotong batang-batangnya dengan bara api. Kami mendorong kapal rakit yang sudah jadi ke laut, tapi sayangnya tidak bisa mengambang. Kami pun dihadapi pada kemungkinan tidak dapat meninggalkan pulau untuk selamanya.
Saya tidak mau memikirkan sudah berapa lama di pulau. Saya memenuhi otak dengan pikiran-pikiran positif, seperti akan terjadi keajaiban keesokan hari. Tak terasa, kami sudah 15 bulan berada di sana.
Suatu hari, kami melihat perahu bergerak mendekati pulau. Teman kami, Stephen, yang pertama kali menemukannya. Dia buru-buru berenang ke arah perahu, dan sangat beruntung mereka menyadari keberadaannya. Kapten Warner memberi tahu, dia awalnya tidak menggubris ucapan anggota kru yang mendengar suara manusia. “Ah paling hanya suara burung,” katanya. Tapi tak lama kemudian, mereka melihat Stephen berenang di tengah laut. Begitu mendongakkan kepala, mereka bertatapan dengan lima laki-laki telanjang dan berambut gondrong di tepi pantai.
Saya tak bisa menggambarkan perasaan dengan kata-kata. Yang pasti kami sangat bahagia. Kami bisa bertemu kembali dengan keluarga. Akhirnya kami pulang ke rumah.
Kami mengadakan syukuran selama tiga hari. Pertama bersama keluarga, kedua bersama gereja, dan ketiga bersama penduduk satu pulau.
Ketika mengenang kembali momen tak terlupakan itu, saya sadar banyak yang telah saya pelajari selama bertahan hidup di pulau Ata — rasanya jauh lebih banyak daripada saat sekolah. Di sana, saya belajar untuk memercayai diri sendiri. Tak peduli siapa dirimu dan apa rasmu, kalian harus siap melakukan segalanya untuk melewati setiap masalah yang menghadang.