Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan agar judul Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diganti menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Usulan itu dikemukakan dalam Rapat Pleno Penyusunan Draf RUU PKS, Senin (30/8) awal pekan ini. Rapat tersebut diagendakan untuk mendengarkan pemaparan tim ahli Baleg DPR RI.
“Terkait dengan aspek judul, sesuai dengan pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan kekerasan seksual sebagai pidana khusus, maka judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata perwakilan tim ahli Baleg DPR RI Sabari Barus, dilansir Antaranews.
Penggantian judul ini, kata Barus, karena kata penghapusan terkesan terlalu abstrak dan mutlak. Padahal, masih menurutnya, kekerasan seksual mustahil hilang sama sekali dari dunia ini. Karena itu penggunaan judul RUU TPKS ia nilai akan lebih memudahkan penegak hukum menentukan unsur pidana dan ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual nantinya.
Selain usulan penggantian judul, Baleg turut membuang 85 pasal dari draf terbaru ini. RUU PKS yang semula berisi 128 pasal (draf September 2020) kini hanya memuat 43 pasal. Padahal draf September 2020 dengan 128 pasal pun sudah merupakan hasil pemangkasan draf Februari 2017 yang berisi 152 pasal dan draf Oktober 2016 berisi 184 pasal.
Pemangkasan pasal ini akibat dari disingkirkan serta diubahnya 9 jenis kekerasan seksual yang disebut dalam draf lama, sebagaimana daftar di bawah ini. Bagian yang kami tebalkan adalah bentuk kekerasan seksual yang dihapus atau diubah diksinya dalam draf terbaru.
1. pelecehan seksual,
2. pemaksaan perkawinan,
3. pemaksaan kontrasepsi,
4. pemaksaan aborsi,
5. perkosaan,
6. eksploitasi seksual,
7. pemaksaan pelacuran,
8. perbudakan seksual, dan
9. penyiksaan seksual.
Alhasil, tindakan yang digolongkan sebagai kekerasan seksual dalam draf RUU PKS 30 Agustus 2021 hanya mencakup:
1. pemaksaan hubungan seksual (tidak lagi memakai diksi perkosaan),
2. pemaksaan pemakaian alat kontrasepsi,
3. eksploitasi seksual, dan
4. pelecehan seksual.
Menurut keterangan Barus, Baleg menggunakan tiga pendekatan hukum dalam kerangka penyusunan RUU PKS atau apa pun lah namanya ini. Pertama, pendekatan kekerasan seksual sebagai tindak pidana khusus sehingga diperlukan penentuan unsur-unsur dari kekerasan seksual. Kedua, pendekatan dengan perspektif korban dengan berorientasi pada penindakan pelaku. Ketiga, pendekatan penyusunan berlandaskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah ada.
Menanggapi perkembangan legislasi RUU PKS, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengapresiasi Baleg DPR RI yang beneran mengerjakan RUU ini. Namun, KOMPAKS menyesali pengubahan judul yang berimbas pada substansi pasal. Draf baru dinilai menghilangkan unsur penting yang aslinya sudah ada di naskah akademik September 2020 yang merupakan usulan masyarakat bersama lembaga pendamping korban dan organisasi perempuan.
“Proses pembahasan ini adalah sebuah progres yang baik, tapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual,” tulis perwakilan KOMPAKS Naila dalam rilis pers yang diterima VICE.
Prinsip yang yang dianggap hilang dari naskah lama antara lain: tidak adanya jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban kekerasan seksual karena draf terbaru masih terfokus pada penanganan pelaku saja. Kedua, dihapuskannya beberapa jenis kekerasan seksual, seperti tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Ketiga, penggunaan frasa “pemaksaan hubungan seksual” dibanding “perkosaan” dianggap upaya penghalusan bahasa yang bakal berdampak negatif pada pemaknaan kasus. Keempat, tidak disinggungnya kekerasan seksual berbasis online dan kekerasan seksual kepada orang dengan disabilitas.
KOMPAKS menuntut Baleg DPR RI untuk membuka akses usulan perubahan naskah dan ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil dalam perumusan RUU PKS, serta mencantumkan kembali prinsip-prinsip yang dihilangkan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi bersepakat dengan KOMPAKS, menyoroti bagaimana aturan atas kekerasan berbasis gender secara online mendesak disahkan.
“Tidak adanya isu kekerasan berbasis gender siber dalam tindak pidana kekerasan seksual, khususnya di pemberatan. Padahal, sebagaimana kita ketahui kekerasan seksual terjadi melalui dan diperburuk dengan [aktivitas] siber yang pada 2020 meningkat tajam,” kata Siti kepada Kompas. “Kami tentu berharap draf ini masih terbuka untuk perbaikan-perbaikan.”