Dua terdakwa pemerkosa anak yang dibebaskan Mahkamah Syar’iyah pada 30 Maret 2021 memicu kemarahan di Aceh. Kedua pelaku masih kerabat korban, yakni MA, ayah kandung korban, dan DP, paman korban. Dua warga Aceh Besar itu didakwa berulang kali memperkosa anak dan keponakan mereka sendiri yang berusia 11 tahun.
Vonis ini memunculkan desakan dari aktivis agar Qanun Jinayat, sebutan teknis untuk hukum pidana khusus di Aceh, agar direvisi.
Pemerkosaan itu terjadi pada Agustus 2020, setelah ibu kandung korban meninggal di bulan April tahun itu. Menurut jaksa penuntut umum, ayah korban memperkosa dua kali dan pamannya lima kali. Korban juga sempat dipukuli ayahnya karena melawan. Sedangkan si paman mengancam akan membacok korban jika ia melapor kepada si ayah. Korban kemudian melapor ke polisi dan kedua pelaku ditangkap pada 17 Agustus 2020.
Persidangan perdana mulai digelar Mahkamah Syar’iyah Jantho, Aceh Besar, pada Desember tahun lalu. Keduanya didakwa melanggar Qanun 6/2014 tentang Jinayat (biasa disebut Qanun Jinayat atau hukum pidana) Pasal 49 tentang pemerkosaan kepada mahram—istilah hukum Islam untuk kerabat sedarah yang tidak boleh dinikahi. Aturan ini memberi ancaman hukuman maksimal 200 kali cambuk atau denda 2.000 gram emas murni atau penjara 200 bulan (16,5 tahun). Namun jaksa memilih menuntut penjara 200 bulan.
Pada 30 Maret lalu, majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho memutuskan MA, pelaku yang juga ayah korban, tidak terbukti bersalah dan dibebaskan. Sementara paman korban, DP, divonis sesuai tuntutan jaksa. Vonis DP lalu dihapuskan oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh saat pelaku mengajukan banding. Per 25 Mei, ia dibebaskan.
Vonis bebas MA dan DP langsung menyulut protes dari aktivis dan organisasi perempuan. LSM Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) yang memperjuangkan penegakan syariat Islam yang berpihak pada perempuan, mendorong revisi Qanun Jinayat setelah mendapati kejanggalan proses persidangan kasus tersebut.
Presidium BSUIA Soraya Kamaruzzaman mempertanyakan beberapa keputusan hakim. Pertama, hakim tidak menjadikan video kesaksian korban sebagai alat bukti hanya karena dalam video anak cuma mengangguk dan menggeleng saat menjawab pertanyaan. Menurutnya, sikap tersebut memperlihatkan hakim tidak punya perspektif anak sebagai korban dalam mengkaji persoalan, khususnya mempertimbangkan pengalaman traumatis yang dialami korban.
Kedua, hakim juga tidak memakai hasil visum sebagai alat bukti dengan alasan hasil visum tidak menunjukkan siapa pelakunya. Ketiga, majelis hakim mengabaikan hak anak yang menghadapi pengadilan tanpa adanya pendamping dari Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) dan psikolog. Proses persidangan yang menggunakan Qanun Jinayat sebagai landasan hukum memperlihatkan aturan ini tidak berpihak pada korban. BSUIA bersama koalisi masyarakat sipil lantas mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemerintah Aceh untuk melakukan revisi aturan.
“Itulah beberapa kelemahan dan kejanggalan yang kami temukan dalam proses hukum kasus perkosaan anak yang menggunakan Qanun Jinayat. Artinya, anak selaku korban dalam Qanun Jinayat jelas tidak dapat keadilan,” kata Soraya kepada Kompas. “Jadi, sekali lagi, bukan kami anti-syariat Islam, tapi kami ingin korban mendapatkan keadilan karena kita tahu Islam itu rahmatan lil alamin (membawa kedamaian bagi seluruh umat). Karena kami orang Aceh, beragama Islam, dan peduli dengan penerapan syariat Islam di aceh.”
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual Azriana Manalu menekankan putusan bebas pelaku mencederai rasa keadilan publik, memberikan impunitas pada pelaku pemerkosaan, dan menghambat pemulihan korban. Terkait revisi, Aulianda Wafisa dari LBH Banda Aceh meminta dua pasal dicabut dari Qanun Jinayat: pemerkosaan dan pelecehan seksual.
“Supaya pemerkosaan dan pelecehan seksual kembali ditangani oleh mekanisme pengadilan umum. Bisa dipakai UU Perlindungan Anak, pakai UU Sistem Peradilan Pidana Anak, atau mungkin pakai UU Penghapusan Kekerasan Seksual kalau nanti sudah disahkan,” ujar Aulianda dilansir Merdeka.
Suara serupa juga datang dari kelompok pembuat undang-undang. Anggota DPRD Aceh Darwati A. Gani ikut menyuarakan kekecewaannya terhadap putusan bebas terdakwa. “Ini putusan yang mengkhawatirkan bagi upaya hukum terhadap kasus-kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak,” kata Darwati kepada JPNN. “Mahkamah Syar’iyah Aceh perlu segera memberi penjelasan kepada masyarakat mengapa pelaku dibebaskan. Karena ini terkait dengan kondisi korban yang pasti akan kembali mengalami ketakutan dan trauma.”
Di sisi lain, vonis bebas dari Mahkamah Syariah Aceh kepada DP dianggap Tarmizi Yakub, kuasa hukum DP, menunjukkan bahwa kliennya adalah korban fitnah. “Terdakwa ini korban fitnah seseorang. Anak tersebut memang betul korban pemerkosaan, tapi yang melakukan orang lain,” kata Tarmizi pada 25 Mei, dilansir Merdeka. Mengenai DP yang sempat divonis bersalah di tingkat pertama, Tarmizi bilang hasil tersebut disebabkan oleh proses penyelidikan kasus yang terburu-buru.
Saat ini jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Aceh Besar mengaku akan mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung di bulan ini sebagai perjuangan lanjutan menyeret pelaku mendapatkan hukumannya. Nenek korban mengaku tidak terima dengan vonis ini, dan telah melaporkan pelaku pemerkosaan lain.