Sejak awal, pakar kesehatan mengingatkan agar pemerintah Indonesia mengambil langkah berani untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown sesuai dengan Undang-undang Karantina Kesehatan. Tetapi, penanganan setengah hati membawa kita sampai pada kondisi hari ini, ketika penanggulangan Covid-19 belum efektif, sementara geliat ekonomi pun turut tergerus.
Epidemiolog Dicky Budiman dalam berbagai wawancara, termasuk dengan VICE, mengatakan sekarang pemerintah memang terpaksa harus memilih untuk menyelamatkan ekonomi atau nyawa. Ini merupakan konsekuensi dari kehilangan momentum yang sangat krusial pada 2020.
Jumlah infeksi dan kematian harian yang masih tinggi dibarengi dengan jeritan para pekerja sektor informal serta pengusaha kecil yang terdampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbagai versi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2021 ada sebanyak 78,14 juta pekerja informal. Angka ini naik bila dibandingkan pada Agustus 2020 yang sebesar 77,68 juta orang. Mayoritas merasakan buruknya efek kebijakan pandemi pemerintah. Sedangkan ekonom Akhmad Akbar Susanto dari Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi tingkat pengangguran terbuka periode Agustus 2021 akan naik antara 7,15 sampai 7,35 persen.
Di Bandung, Jawa Barat, ratusan massa yang terdiri dari sopir ojek online dan pedagang menyerbu kantor wali kota untuk menolak PPKM pada 21 Juli kemarin. Aksi tersebut berujung rusuh. Polisi menangkap 150 orang yang dituduh merusak fasilitas umum dan mengganggu aktivitas masyarakat.
Salah satu koordinator demo, Aditya Insani, menolak jika disebut aksi mereka tidak bisa dilegitimasi. Masyarakat yang asap di dapur mereka sangat terdampak oleh PPKM merasa terhimpit diantara dua pilihan.
“Tidak bisa disalahkan jika masyarakat acap kali masih melanggar kebijakan karena masyarakat kecil yang tersendat roda perekonomiannya terpaksa untuk terus mengais rezeki demi menyambung hidup,” tuturnya. “Pilihan mereka adalah bertaruh dengan Covid dan kebijakan pemerintah atau mati kelaparan.”
Para pemilik tempat makan di Malioboro, Yogyakarta, menggunakan bendera putih sebagai simbol menyerah lantaran PPKM Level 4 membuat pendapatan mereka anjlok. Mereka mengakui sejumlah ruas jalan yang ditutup berimbas kepada tingkat kunjungan ke kawasan populer tersebut.
Pengibaran bendera putih juga dilakukan oleh pelaku pariwisata di Tegal, Jawa Tengah. Pemerintah setempat terpaksa menutup kawasan wisata Guci yang menjadi sumber penghasilan utama penduduk setempat. Akibatnya, ada banyak homestay dan vila yang kosong. Para pekerja pun dirumahkan.
Sedangkan selebriti Dinar Candy lebih memilih cara kontroversial untuk memprotes perpanjangan PPKM. Dia memutuskan berdiri di pinggir jalan sambil memakai bikini. “Saya stress PPKM diperpanjang,” bunyi poster yang dibawanya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Aksi Dinar berbuntut penahanan oleh polisi. Dalam keterangan resmi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengungkap perempuan yang berprofesi sebagai DJ itu dikenai UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Situasi mencekik akibat pandemi juga mempertontonkan kurangnya rasa peka yang dimiliki para politisi. Di media sosial, dalam beberapa waktu terakhir, ramai kritik serta cibiran netizen terhadap aktor-aktor politik yang sibuk mempromosikan diri lewat pemasangan baliho berukuran besar di berbagai lokasi.
Dua politisi yang paling gencar beriklan adalah Puan Maharani dan Airlangga Hartarto. Keduanya digadang-gadang berambisi menjadi orang nomor satu di republik ini. Saking geramnya, publik menyindir dengan memperlihatkan poster bertuliskan “pandemi belum usai, 2024 sudah dimulai”, merujuk pada Pilpres yang baru berlangsung tiga tahun lagi.
Netizen yang lain menilai mereka “tak layak untuk dipilih menjadi wakil rakyat ataupun menjadi pemimpin”. Ada juga netizen yang bertanya mengapa Puan dan Airlangga begitu percaya diri memasang baliho-baliho berukuran raksasa, padahal tidak punya rekam jejak yang bagus.
Pemerintah sendiri memilih pendekatan tambal sulam untuk mengatasi dampak PPKM terhadap masyarakat yang tak bekerja di sektor formal. Pada 17 Juli lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengumumkan pemerintah menyiapkan tambahan anggaran sebanyak Rp39,19 triliun untuk bantuan sosial (bansos) berupa kartu sembako, potongan biaya listrik hingga pemberian uang tunai.
“Bapak Presiden telah memerintahkan kepada kami para menterinya untuk memberikan tambahan bantuan-bantuan dari pemerintah yang bisa diberikan untuk meringankan beban akibat PPKM,” ujar Luhut ketika konferensi pers virtual.
Sayangnya, penyalurannya masih sangat lambat sehingga banyak yang belum menerima. Transparency International Indonesia (TII) menyebut ada persoalan data soal siapa yang berhak menerima bansos.
“Ini verifikasi dan validasi data yang kurang. Seharusnya Kemensos (Kementerian Sosial) kerja sama dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) melalui Dukcapil dan pemda untuk validasi data,” kata Manajer TII Wawan Suyatmiko.
Di saat bersamaan, tuntutan 11 tahun penjara untuk mantan Mensos Juliari Batubara karena skandal suap dana bansos Covid-19 semakin melukai hati masyarakat. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan ini terlalu ringan dan semakin membuat kepercayaan masyarakat turun terhadap keseriusan pemerintah menghadapi pandemi.
“Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan sebab pasal yang menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf B UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar,” kata peneliti ICW Almas Sjafrina lewat siaran pers usai tuntutan dibacakan.
Terjangan masalah dari berbagai penjuru di tengah ancaman virus mematikan ini membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan politisi semakin tergerus. Contohnya, temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) selama masa PPKM Darurat memperlihatkan hanya 43 persen orang yang percaya Presiden Joko Widodo mampu memimpin penanganan pandemi. Padahal, pada Februari lalu angkanya masih diatas 50 persen.