Kembali di episode pemerintah menegur dirinya sendiri. Presiden Joko Widodo baru saja mengimbau masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi barang buatan luar negeri. Dalam Rakernas Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara, Kamis (4/3), Jokowi berharap warga Indonesia lebih mencintai produk luar negeri dan, ini punchline-nya, membenci produk asing.
“Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan. Produk-produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri, bukan hanya cinta tapi benci,” ujar Jokowi dikutip Tirto. Meski terdengar aneh bahwa untuk mencintai kita harus membenci, strategi ini sebenarnya masuk akal. Mengantagoniskan yang satu agar khalayak memilih yang lain, terdengar seperti pilpres, bukan?
Meski imbauannya jelas bakal bikin panas investor asing, tampaknya maksud kampanye Jokowi kali ini diarahkan agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia bisa bangkit setelah dihajar habis-habisan oleh pandemi. “Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia,” tambah Jokowi.
Dalam arahan tersebut, Jokowi menekankan bahwa 270 juta WNI adalah pasar besar untuk produk domestik. Oleh karena itu, menurutnya branding merek lokal perlu diperkuat agar konsumen teralihkan dari produk impor. Ia juga menyarankan langsung strategi witing tresna jalaran saka kulina. Yakni agar lokasi-lokasi strategis di mal memajang merek lokal agar citra produk makin lekat sehingga tumbuhlah cinta.
Bagaimanapun niat mulianya, cara komunikasi tetap penting. Bisa jadi penggunaan kata benci oleh Presiden hanya gimmick, namun menurut Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, logikanya enggak kayak gitu. Alih-alih pakai rumus cinta-benci, Tauhid berpendapat harusnya produk asing jadi patokan motivasi produsen lokal untuk berkompetisi.
“Statement-nya Pak Presiden yang terakhir saya dengar kalau tidak salah kita harus mencintai produk dalam negeri. Setuju, tapi bukan berarti membenci produk asing,” ujar Tauhid kepada Merdeka. “Jadi produk asing itu sebagai motivasi supaya kita berkompetisi,” ujarnya.
Tauhid juga mengatakan, imbauan pemimpin harus disertai tauladan. Misalnya dengan cara Jokowi mengganti merek mobil kepresidenan dari Mercedes-Benz yang notabene produk Jerman ke produk lokal. Astaghfirullah, Pak Tauhid, apakah sopan nyindir Esemka secara no mention begitu?
Menanggapi imbauan Presiden, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku belum bisa membahas teknis gimana caranya agar orang Indonesia makin cinta produk lokal. Ia sekadar mengulang populasi adalah pasar. “Consumer Indonesia yang 270 juta ini adalah consumer yang penting dan consumer yang bisa memberikan nilai tambah, nilai bargaining position terhadap negara lain terhadap barang buatan Indonesia,” ujar Lutfi.
Sorotan Presiden kepada gaya konsumsi masyarakat tidak mengejutkan. Sejak lama pertumbuhan ekonomi Indonesia dari segi pengeluaran bertumpu separuhnya pada konsumsi. Namun, jika Presiden membayangkan cara meningkatkan konsumsi produk dalam negeri ialah memajang brand lokal di mal, tampaknya usaha tak akan sebanding dengan hasil.
Kita bisa menengok daftar sepuluh besar komoditas impor Indonesia 2020, yang daftarnya mirip-mirip dengan impor tahun-tahun sebelumnya. Dari total nilai impor 2020 sebesar US$141,57 miliar, komposisinya adalah 10 persen migas dan 90 persen nonmigas. Daftar sepuluh besar komoditas impor 2020 meliputi:
- Mesin dan peralatan mekanis (US$21,80 miliar)
- Mesin dan perlengkapan elektrik (US$19,02 miliar)
- Plastik dan barang dari plastik (US$7,15 miliar)
- Besi dan baja (US$6,85 miliar)
- Bahan kimia organik (US$5,02 miliar)
- Kendaraan dan bagiannya (US$4,43 miliar)
- Serealia (US$3,02 miliar)
- Berbagai produk kimia (US$2,97 miliar)
- Ampas/sisa industri makanan (US$2,91 miliar)
- Perangkat optik, fotografi, sinematografi, medis (US$2,90 miliar)
Daftar tersebut didominasi oleh produk yang sulit didapatkan atau digantikan dengan produksi dalam negeri. Dalam kelompok serealia misalnya, ada gandum yang sulit ditumbuhkan di Indonesia. Padahal konsumsi gandum sangat familier dalam bentuk mi dan kue-kue.
Dari segi mesin, peralatan mekanis, dan perlengkapan elektrik, bahkan BUMN Perusahaan Listrik Negara sendiri pernah mengakui ketiadaan industri permesinan untuk memenuhi konsumsi domestik.
“Pertumbuhan kebutuhan energi terus tumbuh, tidak pernah datar. Tapi penggunaan teknologi masih menggelitik. Kita negara kepulauan tapi kita tidak punya industri permesinan, kita impor,” ujar Direktur PLN kala itu, Nur Pamudji, saat diwawancara pada 2014, dikutip Merdeka. Ia juga menambahkan kondisi memprihatinkan lain, “Kapal perang kita saja engine-nya itu impor. Saya ada gurauan bagaimana kalau engine itu dimatikan melalui remote kontrol dan dimatikan dari sana?”
Yang jadi ironi, kelompok besi dan baja banyak diimpor untuk menunjang pembangunan infrastruktur—kegiatan yang getol dijalankan Presiden Jokowi sejak periode pertama. Fakta itu diungkapkan sendiri oleh mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada 2019. “Impor barang modal dan bahan baku masing-masing naik sebesar 22 persen dan 20 persen. Ini semua untuk menunjang pembangunan infrastruktur dan konstruksi di tanah air,” terang Enggar pada pembukaan Rakernas Kemendag 2019, dilansir Detik.
Lho, emang Indonesia enggak bisa memproduksi besi dan baja sendiri? Yah, seandainya berdagang sesederhana menyediakan barang, lalu pembeli pasti datang. Nyatanya manusia adalah homo economicus. Sumber pemerintah bilang, dalam hal ini Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Harjanto, meski baja dalam negeri tersedia, ada alasan masuk akal kenapa pelaku industri tetap memilih produk impor.
“Pertama harga, kemudian kualitas. Ada beberapa hal yang masih menjadi catatan dan itu perlu proses, tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujar Harjanto pada Desember 2019, dilansir Katadata. “Alasannya karena [produksi] di dalam negeri tidak ada. Ada juga yang memang sudah ada, namun spesifikasinya belum memenuhi sehingga harus diimpor karena skala ekonominya juga menjadi pertimbangan.
Terakhir dan paling jelas sangat sulit dicari alternatifnya karena butuh waktu adalah impor produk farmasi. Impor produk ini melejit akibat pandemi, di Januari 2021 sampai naik 133,78 persen dibanding Desember 2020.
Jadi, kalau balik ke provokasi Presiden untuk mencintai produk dalam negeri dengan cara membenci produk asing demi menolong UMKM, kayaknya anjuran tersebut salah sasaran dan salah strategi. Nyatanya, dominasi produk asing justru terjadi di skala industri. Kita emang pengin UMKM sehat lagi, tapi caranya justru dengan menaikkan daya beli masyarakat.
Kecuali konteksnya Pak Jokowi lagi nyindir Bu Iriana dan Mbak Kahiyang yang pernah ketangkap kamera menenteng tas Gucci dan Chanel.