Saat itu tahun 2002, dan aku baru lima tahun. Ayah ibu berjanji akan mengajakku jalan-jalan ke taman hiburan. Aku membayangkan dunia fantasi mirip Disneyland yang dipenuhi musik riang gembira dan karakter buku dongeng. Namun, setibanya di sana, aku disambut patung menyeramkan yang lidahnya terjulur panjang. Katanya, kalau aku sering berbuat buruk selama hidup, aku akan disiksa seperti yang digambarkan patung-patung ini di akhirat nanti.
Ini pertama kalinya aku berkunjung ke “Ten Courts of Hell” atau 10 Pengadilan Neraka, terowongan gelap nan dingin yang menampilkan segala penyiksaan yang dihadapi orang-orang berdosa. Diorama menakutkan yang berada di Haw Par Villa, Singapura, terinspirasi dari interpretasi Tao dan Buddha akan neraka.
Penggambaran penghuni neraka yang senantiasa dipukuli, dicincang dan dibakar hingga hangus memberikan mimpi buruk bagi anak-anak generasi 70-an dan 80-an di Singapura. Mereka kemudian mengajak anak-anaknya untuk merasakan ketakutan serupa sekaligus memberi pelajaran moral.
Beberapa minggu lalu, aku memutuskan untuk pergi ke Haw Par Villa dan menghidupkan kembali mimpi burukku semasa kecil dulu. Gak mungkin seseram dulu, kan? batinku di depan pintu masuk.
Aku acuk tak acuh sampai akhirnya aku bertatapan mata dengan patung panda yang mengintip dari gua di dekat pintu masuk. Semakin lama aku menatap matanya, semakin aku mengerti kenapa Haw Par Villa begitu ditakuti. Banyak orang Singapura yang percaya patung-patung di sana hidup di malam hari.
Dibuka oleh pengusaha Tionghoa-Burma Aw Boon Haw (pencipta balsam cap macan) pada 1937, Haw Par Villa tadinya dibangun menjadi tempat tinggal adiknya Aw Boon Par. Namun, vila itu terbengkalai begitu ditinggalkan pemiliknya pada Perang Dunia II. Keluarga Aw kemudian menghibahkan lahannya ke negara.
Sepanjang sejarahnya, lahan itu berfungsi sebagai vila keluarga, tempat strategis bagi pasukan Jepang dan tempat nongkrong para perusak. Haw Par Villa disulap menjadi taman hiburan dilengkapi wahana permainan pada 1990-an, sayangnya tidak berjalan lancar dan ditutup pada 2001. Meskipun begitu, tempat ini masih dikunjungi orang-orang yang ingin bernostalgia, uji nyali atau sekadar foto-foto.
Sekarang taman bermain itu menjadi Museum Neraka, yang menampilkan tradisi seputar kematian dan kepercayaan tentang kehidupan akhirat yang berfokus pada ritual Tionghoa setempat.
Ten Courts of Hell kini menjadi bagian dari pameran Museum Neraka.
Menurut mitologi Tiongkok yang dipengaruhi oleh ajaran Buddha, manusia akan diadili di akhirat setelah meninggal dunia. Di berbagai tingkatan pengadilan, raja menjatuhkan hukuman brutal sesuai dosa yang orang miliki semasa hidupnya dulu.
Para pendosa disiksa berulang kali hingga mereka mencapai neraka tingkat 18 (konsep terkenal lainnya dalam cerita rakyat Tiongkok) dan bereinkarnasi. Lama tidaknya mereka berada di neraka tergantung pada berat dosa-dosanya.
Contohnya, mereka-mereka yang tidak mau mengurus orang tua dan anak akan tertimpa batu besar. Sementara itu, penghuni neraka yang pernah melakukan perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan akan dipotong kepala dan tangannya.
Di Museum Neraka, contoh dosa dan hukumannya sangat spesifik. Kalian akan dibuang ke bukit pisau jika merencanakan pembunuhan untuk merampas uang, atau memberikan bunga yang tinggi kepada orang yang berutang.
Rupanya, taman hiburan yang memberikan pelajaran moral semacam ini cukup lazim di Asia. Dari taman neraka di Thailand hingga taman air neraka Buddha di Korea Selatan, patung-patung seram menjadi gambaran seperti apa ganjaran yang diterima orang jahat di neraka.
Untungnya, begitu keluar dari terowongan yang mencekam, aku disambut patung-patung yang mewujudkan nilai-nilai positif, meski agak eksplisit. Contohnya seperti patung perempuan menyusui ibu mertua yang susah makan karena tidak punya gigi. Patung ini dimaksudkan untuk menggambarkan bakti anak kepada orang tua.
Meski sudah tidak ada patung berdarah-darah di luar museum, pemandangan di sekitar tetap bikin bulu kuduk berdiri. Aku menjumpai patung putri duyung tersenyum sumringah dan kura-kura yang berenang di kolam lumutan. Aku harus mengakui air hijau keruh semakin menambah kesan tempat yang sudah lama terbengkalai.
Haw Par Villa bukanlah tempat rekreasi favorit di Singapura, dan terlalu seram jika disandingkan dengan aktivitas gemerlap di sekitarnya. Ditambah lagi, tempat ini hanya akan membangkitkan kembali kenangan buruk semasa kecil yang susah payah dilupakan orang-orang seperti diriku. Namun, aku tetap senang melihat peninggalan sejarah ini tak sepenuhnya terlupakan.
Follow Koh Ewe di Instagram.