Nasib AM, inisial pemuda asal Tegal, Jawa Tengah, menjadi sorotan sejak akhir pekan lalu. Dia dipanggil polisi setelah menulis komentar “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja” pada kolom postingan bergambar walikota Surakarta Gibran Rakabuming di akun Instagram @garudarevolution.
Pemanggilan terjadi sebab Virtual Police Polresta Surakarta menganggap AM menyebarkan berita bohong. Fakta yang benar, menurut polisi, Gibran jadi walikota karena menang pemilu, bukan karena pemberian bapaknya yang presiden. AM akhirnya diwajibkan minta maaf secara terbuka.
Polisi mengklaim keputusan pemanggilan AM tidak ngasal sebab didasarkan pada ilmu pengetahuan nan empiris. Mereka mengaku udah konsultasi dulu sama ahli bahasa, pidana, dan ahli ITE sebelum memanggil AM. Enggak kebayang udah sekolah tinggi-tinggi dan jadi ahli, hanya untuk diminta menganalisis celotehan sehari-hari rakyat jelata di media sosial.
AM lantas dipaksa meminta maaf secara terbuka lewat rekaman video di akun Instagram Polresta Surakarta karena dianggap “menodai” harkat masyarakat Solo. Video tersebut dibuat di kantor Polresta dengan latar slogan yang terpampang di baliho digital. Tulisannya berbunyi: “Jangan Mudah Berkomentar yang Tidak Sesuai Fakta”.
Sayang, semulia apapun kalimatnya, implementasi jargon tersebut punya celah berbahaya. Pertama, enggak semua orang punya akses terhadap fakta yang sama atau mau percaya fakta yang dihadirkan pihak lain. Contoh bagus bisa kita lihat pas awal pandemi ketika Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus bilang kita enggak perlu pakai masker kalau enggak bergejala. Saat itu, informasi yang Terawan terima sebagai fakta kemungkinan sebatas Covid-19 bukan penyakit mematikan.
Kalau setingkat menteri aja bisa kecele, apalagi seorang pria biasa asal Tegal. Bapak saya suka bikin status WhatsApp dan berkomentar cuma berdasarkan pengetahuan fakta yang ia punya. Kalau komentarnya salah, karena faktanya kurang update, apakah wajib minta maaf lewat Instagram Polri dulu?
Namanya komentar netizen, seringkali mereka bicara semampunya aja. Kalau ada yang tersinggung, sudah ada mekanisme pelaporan dan peradilannya (meski UU ITE sendiri juga amat bermasalah karena punya pasal karet). Kenapa polisi, setelah ada imbauan langsung Presiden Joko Widodo, malah semangat berperan sebagai hakim yang menentukan fakta dari semua pernyataan individu?
Dari kasus AM, definisi “fakta” yang dipakai seakan dibuat sesuai keinginan Virtual Police dan para ahlinya yang anonim itu. Kapolresta Surakarta Ade Safri Simanjuntak mengklaim komentar AM menciderai seluruh masyarakat Solo. Lah, gimana ceritanya?
Rasanya masyarakat Solo (dan di seantero Indonesia) juga enggak bakal tahu ada orang berinisial AM asal Tegal, kalau enggak dibikin ramai begini sama polisi. Sikap aparat jadi bertentangan dengan imbauan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, agar kasus “pencemaran nama baik” tidak bisa diwakilkan dan harus dilaporkan sendiri oleh individu yang merasa jadi korban.
Kedua, enggak cocok banget kasus AM secara simbolis jadi percontohan jargon tentang bagaimana berkomentar tidak sesuai fakta. Sebab, kalimat yang ditulis AM itu masih sangat bisa diperdebatkan konteksnya.
Siapa tahu maksud AM dari kata “jabatan dikasih” itu bukan dikasih sama bapaknya, tapi dikasih sama PDIP. Partai Banteng itu secara konsisten menguasai basis pemilihan di Solo, jadi boleh aja dong ada interpretasi masyarakat bahwa siapapun yang dikasih kesempatan mencalonkan diri sama PDIP, sama aja dengan “dikasih” jabatan walikota melihat begitu besarnya peluang menang. Proses pemberian kesempatan ini, jika dibawa ke ranah debat linguistik, tentu bisa disebut sebagai fakta.
Kalau mau fair, enggak bisa dibantah tetap peran Presiden Joko Widodo ikut merayu Achmad Purnomo (calon kuat walikota Surakarta dari PDIP sebelum Gibran hadir) sembari ngobrol santai di istana agar Purnomo ikhlas menyerahkan kesempatan maju Pilkada kepada anaknya. Alhasil, memang benar jabatan itu dimenangkan Gibran lewat Pemilu sah, tapi benar pula proses muncul kesempatan jadi wali kota itu berkat andil bapaknya.
Bayangin juga deh, kalau AM dipanggil terus ngeles dengan klaim bahwa komentar “Gibran dikasih jabatan itu” maksudnya dikasih sama Tuhan. Bukankah semua yang ada di dunia ini memang pemberian-Nya? Makanya jadi penting agar polisi memaparkan proses diskusi antara para ahli dengan virtual police secara terbuka kepada publik. Kenapa dari sekian banyak komentar “menyinggung” di postingan itu (bahkan ada yang sampai komentar “tahu apa sih lo nyet”), komentar AM yang dipilih polisi dan disetujui para ahli sebagai “tidak sesuai fakta”?
Poinnya, tulisan AM terasa tak offside-offiside banget untuk masuk kategori “komentar tidak sesuai fakta”. Imbauan itu, pada akhirnya, lebih terasa sebagai ancaman agar warga negara tidak berkomentar nyinyir pada pejabat publik seperti di kasus AM.
Melihat komentar AM sekarang malah jadi template guyonan dan dipakai di berbagai platform medsos, menarik melihat bagaimana Virtual Police konsisten sama sikapnya sendiri. Pada titik ini, netizen Indonesia pastinya sadar komentar template ini menyindir siapa dan konteksnya bagaimana. Mustahil rasanya polisi virtual mengirimkan DM satu-satu pada setiap meme berbasis komentar template.
Meski pesimis, saya berharap polisi virtual ke depan mengerti bahwa berkomentar tak sesuai fakta, tidak selalu sama dengan menyebarkan berita bohong, apalagi fitnah.
Kecuali, semua komentar yang bernuansa kritis atau nyinyir pada pejabat otomatis dianggap bukan fakta. Sebab, warganet masih ingat komentar epik Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate: “Kalau menurut versi pemerintah itu hoaks, ya itu hoaks!”