Pendaftaran merek “Citayam Fashion Week” ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) Kementerian Hukum dan HAM diketahui pada Minggu (24/7). Dilaporkan oleh Asumsi, dua pihak telah mendaftarkan merek tersebut. Mereka adalah PT Tiger Wong Entertainment milik pasangan selebritas Baim Wong dan Paula Verhoeven, mendaftar pada 20 Juli. Lalu seseorang bernama Indigo Aditya Nugroho, mendaftar pada 21 Juli.
Kabar itu sontak memicu kemarahan publik. Keramaian Citayam Fashion Week yang dirintis remaja kelas bawah asal Depok dan Bogor dianggap telah diklaim untuk pribadi. Begitu kabar pendaftaran tersebut meluas, Instagram pribadi Baim Wong dijejali tudingan bahwa ia mencuri karya orang miskin. Kalimat yang sama diulang banyak netizen di kolom komentar postingan Baim ini, “created by the poor, stolen by the rich”.
Tapi rupanya kemarahan publik tak cukup ampuh. Hingga 25 Juli 2022, pihak yang mendaftarkan merek Citayam Fashion Week justru bertambah satu, atas nama Daniel Handoko Santoso. Bila salah satu dari ketiga pihak ini berhasil diterima permohonannya, sosok tersebut bakal jadi pemegang eksklusif merek “Citayam Fashion Week” hingga 10 tahun ke depan, bonus jadi public enemy.
Pendaftaran merek tersebut telah dipastikan kebenarannya oleh Ditjen HAKI. Pihak Ditjen Haki menekankan bahwa publik masih bisa menyanggah pendaftaran tersebut. Pasalnya, pendaftaran merek tidak akan serta-merta diterima, namun harus melewati proses verifikasi dan publikasi.
Dalam masa publikasi inilah publik berhak mengajukan keberatan atas merek yang didaftarkan. “Jika kedua permohonan tersebut telah masuk pada masa publikasi, semua pihak dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan pendaftaran merek tersebut,” jelas Koordinator Pemeriksa Merek Ditjen HAKI Agung Indiryanto, dalam rilis kepada media.
Dari hasil pengecekan VICE, publik bisa mengajukan keberatan atas pendaftaran suatu merek. Tata caranya bisa dibaca di sini. Tapi ada biaya yang lumayan. Ongkosnya Rp1 juta per permohonan keberatan.
Baim Wong sebagai sosok yang paling dikecam karena pendaftaran ini, sejauh ini belum tampak mundur. Lewat postingan Instagram, Baim membela diri bahwa Citayam Fashion Week tetap milik Indonesia dan ia cuma bermaksud “memajukan fashion Indonesia di mata dunia”. Namun, ia tak menjelaskan apa kepentingan perusahaannya mendaftarkan merek tersebut secara hukum.
Sayangnya, postingan yang berusaha menunjukkan dukungan ke Citayam Fashion Week tersebut justru diwarnai bias kelas di sana-sini. Misalnya, Baim menekankan bahwa dirinya sebagai orang berduit harus membantu remaja Citayam agar bisa “meraih mimpi”, tapi tak dijelaskan mimpi siapa yang dimaksud. Ia juga menyebut ingin membuat “trend ini menjadi wadah yang legal”, padahal sampai saat ini belum ada yang memvonis ajang mejeng remaja di Stasiun Sudirman tersebut ilegal.
Baim juga mengatakan sudah minta izin menteri untuk memindahkan Citayam Fashion Week ke “tempat lebih layak”, yakni ke mal Sarinah. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apa kapasitas Baim sehingga ia merasa berhak memindahkan kerumunan publik?
Munculnya kritik bernuansa pertentangan kelas saat menanggapi pendaftaran HAKI Citayam Fashion Week bukan barang mengejutkan. Netizen menganggap Citayam Fashion Week punya semua hal yang dibenci kelas atas, namun belakangan justru dibajak oleh kalangan tersebut. Alasan ketidaksukaan itu, misalnya, karena remaja-remaja necis dari Depok dan Bogor ini berdana cekak sehingga tampak seperti imitasi murahan. Mereka juga remaja yang tak bersekolah.
Platform yang memopulerkan mereka, TikTok, juga masih dijauhi sejumlah kalangan karena dinilai norak. Bonge, Jeje, Roy, dan Kurma memang mendapat popularitasnya lewat konten wawancara di jalan, yang dipublikasikan lewat TikTok.
Tak heran, meski selebritas dan politisi akhirnya ikut terjun ke catwalk dadakan di zebra cross Dukuh Atas, sentimen negatif terhadap para remaja ini tetap mudah ditemukan. Misal, teguran agar jangan bikin kumuh, dianggap berpeluang mengganggu ketertiban umum, hingga akan dipindah karena bikin macet jalan.
Alfian Putra Abadi menulis esai di Project Multatuli bahwa isu di balik Citayam Fashion Week bukan soal fashion, melainkan keterbatasan ruang publik. Testimoni Alfian sebagai warga Depok, remaja setempat butuh ruang bermain yang toleran, mudah, dan murah dijangkau. Para remaja Depok tadinya berkumpul di kawasan Universitas Indonesia, namun harus pindah karena kebijakan kampus dan PT KAI. Alhasil, ruang bermain remaja Depok terdesak ke mal, kafe, warnet, mal, rumah, atau ke ruang publik di wilayah Jakarta sekalian.