Tahun 2022 ternyata cukup berkesan bagi industri musik Indonesia. Setelah kurang lebih dua tahun surut akibat pandemi global yang mencekik berbagai industri kreatif, situasi perlahan-lahan membaik dan di paruh kedua tahun, pintu yang selama ini tertutup rapat akhirnya didobrak terbuka.
Tiba-tiba banyak festival musik bermunculan setiap minggunya, kadang bahkan diadakan di hari yang sama. Mulai dari yang diselenggarakan kolektif-kolektif DIY tanpa sponsor hingga acara besar yang dihadiri ribuan orang, hampir semua acara musik ini ramai didatangi para pecinta musik yang haus hiburan dan ingin merasakan kesempatan untuk bersenang-senang lagi.
Apakah ini pertanda industri musik sudah kembali normal? Masih terlalu prematur untuk menarik kesimpulan, tapi pastinya ini tren ke arah yang baik.
Dari sisi pelaku musik, ada banyak juga kisah yang seru. Banyak nama-nama baru yang muncul dan mencuat di 2022. Kombinasi materi yang kuat dan fresh, konsistensi untuk terus tur dan manggung, hingga kemampuan mengelola akun media sosial yang baik terbukti jadi formula yang pakem. Garis batas antara mainstream dan sidestream semakin kabur dan tidak lagi penting, dan bagi banyak khalayak umum, kualitas karya menjadi satu-satunya barometer yang signifikan. Ranah-ranah musik seperti elektronik/eksperimental, punk/hardcore, hip hop dan indie rock masih menggeliat, terbukti dari banyaknya upaya untuk mendobrak batasan-batasan yang ada dan melahirkan sesuatu yang segar.
Sebagai bentuk apresiasi kami terhadap mereka, VICE ingin berbagi daftar rilisan musik Indonesia favorit kami sepanjang tahun ini. Kami mengajak beberapa pihak yang aktif di bidang musik selama 2022 berkolaborasi membantu kami menyusun daftar ini. Mereka datang dari berbagai komunitas musik yang berbeda, dan juga generasi yang berbeda, yaitu: Dylan Amirio, jurnalis musik yang juga memiliki proyek elektronik Logic Lost; David Tarigan salah satu advisor di label Demajors; kuartet twee pop asal Lombok The Dare yang wara-wiri manggung sepanjang tahun; Christianto Ario yang punya proyek solo pop Kurosuke dan bertanggung jawab atas kelahiran kembali Aksara Records; serta Delpi Suhariyanto, pendiri dari label hardcore Greedy Dust dan anggota dari band punk ‘Dongker’ yang sedang naik daun.
Kami berharap daftar ini menunjukkan seberapa serunya kancah musik Indonesia selama 2022 dan mungkin bisa menjadi rekomendasi buat kalian saat mencari menyusun playlist baru memasuki tahun baru yang menjelang.
10) Lhorju – ‘Paseser’
World music makin populer beberapa tahun terakhir di kalangan petualang musik. Umumnya musik ini dimainkan musisi negara maju di barat yang mengapropriasi atau meminjam elemen dari musik-musik negara berkembang atau dunia ketiga. Dalam kasus Lorjhu, alias Badrus Zeman, musisi kelahiran Sumenep, Madura yang tumbuh dengan musik dangdut dan qasidah (kakek, ayah dan paman Badrus bermain di Orkes Bunga Dahlia di tahun 1980an), proses ini seperti dibalik. Menggabungkan elemen musik tradisional Madura seperti kendhang dengan musik rock psikedelik dan folk berbasis gitar elektrik, Lorjhu menawarkan sound rock yang funky (“Lakonah Orang Manceng”), atau ballad yang khusyuk (“Ramassanah Kerrong”).
Bagi Badrus yang pindah dan menetap di Jakarta sejak 2009, album debut Lhorju, Paseser yang dinyanyikan 100 persen menggunakan bahasa Madura merupakan cara Badrus untuk terhubung kembali dengan budaya dan identitasnya sebagai orang pesisir (“Toron” bercerita tentang budaya mudik orang Madura ketika lebaran sementara “Can Macanan” membahas tradisi tarian singa barongsai yang sering dia tonton ketika masih kecil). Dengan Paseser, Badrus tidak hanya berhasil meninggalkan jejaknya lewat racikan sound rock akulturasi yang unik, tapi juga membuka jalan bagi musisi Madura atau pesisir lainnya untuk menunjukkan talenta mereka di kancah nasional.
9) Logic Lost – ‘Degenerates’*
Banyak yang mengatakan seiring kita bertambah umur, hati juga akan menjadi semakin getir. Melihat evolusi sound Logic Lost, proyek solo elektronik Dylan Amirio, rasa-rasanya pernyataan tadi terbukti benar adanya. Dibanding materi-materi awalnya yang bernuansa IDM dan banyak membahas topik personal seperti memaafkan diri sendiri dan keraguan, Degenerates terdengar seperti seseorang yang marah dengan realita dunia—bahwa manusia, Dylan sendiri termasuk, adalah makhluk yang egois, dan yakin bahwa kenyataan ini tidak akan berubah (lihat saja judul-judul lagunya, “You Don’t Deserve Everything You Want”, “Inconsiderate”, “A Race To The Bottom”).
Sound di album Degenerates juga secara umum lebih suram dan kelam. Beats yang dipilih lebih berat dan bernuansa industrial, dan ada banyak bebunyian abrasif yang memberikan album ini tekstur yang lebih agresif. Di luar semua eksperimentasi ini, yang menarik dari Degenerates, adalah bagaimana rata-rata semua nomor di sini masih danceable (cocok diputar di underground party terdekat) dan di balik semua kegelapan yang ditawarkan, tetap ada melodi manis yang kadang menyeruak keluar dari musik Logic Lost.
*Dylan tidak terlibat dalam keputusan redaksi VICE memasukkan albumnya dalam daftar ini
8) Rekah – ‘Kiamat’
Dramatisasi merupakan salah satu elemen penting yang biasa ditemukan dalam jenis musik post-hardcore/screamo. Di album Kiamat, kuartet asal Jakarta, Rekah menggunakan petikan gitar clean yang atmosferik, spoken-word yang puitis, dan urutan lagu yang saling menyambung untuk memaksimalkan pesan yang ingin mereka sampaikan: suramnya budaya kerja yang melelahkan, penuh eksploitasi dan mimpi-mimpi yang terkubur. Biarpun mayoritas vokal di album ini disampaikan dalam bentuk teriakan, yang dengan mudah bisa terdengar membosankan—total album berdurasi 50 menitan—struktur lagu yang bervariasi secara mood dan penulisan lirik yang tematik membuat Kiamat menjadi sebuah perjalanan yang terapeutik.
Di track pembuka “24 Jam di Fatmawati,” vokalis Tomo meringis “Mimpi-mimpi mengemis menagih anggaran / Percuma! Percuma! / Aku sibuk tenggelam!”, sementara nomor penutup “Makar / Penghabisan” menunjukkan sikap kepasrahan yang justru memberikan kekuatan “Setelah kutempuh, badai dan rerusuh / Tiada akhir, semua berulang / Aku tidak lagi takut tenggelam / Sekarang, dengan segenap perasaan.” Secara sound, Rekah masih membawa obor screamo/post-black metal yang dipopulerkan oleh band-band seperti Envy dan Deafheaven, namun di album Kiamat, tambahan detail-detail kecil seperti clean vocal dan section jazz yang memberikan pendengar kesempatan untuk bernafas menjadikan Kiamat album Rekah yang paling menarik dan kohesif sejauh ini.
7) Danilla – ‘Pop Seblay’
Danilla Poetri Riyadi jenuh dengan julukan pembuat “musik senja” yang disematkan beberapa pendengar, lalu merilis album ketiganya ini. Sebuah kumpulan materi yang penuh semangat rileks, bermain-main, tapi sejujurnya, menjadi sajian cukup segar dalam lanskap pop Indonesia post-pandemi. Semangat untuk tidak memandang terlalu serius rekam jejaknya sebagai musisi kontemplatif itu bahkan sudah terlihat dari pemilihan judul-judul. “Kudikan”, “Dungu-Dungu”, atau “MVP”. Untungnya, Danilla tidak tertarik mengubah citra menjadi Project Pop atau Weird al Yankovich.
Dia tetap menjadi dirinya sendiri, menyajikan komposisi yang lembut, tetap dengan sentuhan jazz di sana-sini, namun dengan lirik yang sekarang lebih mudah teraba. Bahkan juga tegas (seperti saat dia mengkritik penyiksaan binatang di nomor ‘Otomata’, atau menolak body shaming di lagu ‘BERAT Badan’). Danilla tidak lagi punya beban untuk membuktikan diri sebagai musisi. Dia cukup mengulang formula dan tetap akan mendapat pendengar. Namun dia memilih jalan yang lebih berliku, sekaligus menambahkan bobot baru bagi lirik-liriknya. Melalui Pop Seblay, Danilla menggoyang, bercanda, meninabobokkan kita, sembari mengajak kita dengan telaten dan ringan membicarakan sisi gelap manusia.
6) Insthinc – ‘Kartografi Musim Pagebluk’
Insthinc segera mengejutkan komunitas hip hop lokal ketika debut enam tahun lalu, khususnya saat membuat sampling genjer-genjer menjadi salah satu track politis yang segar dalam single ‘Prima Dusta’. Delivery & flow-nya mematikan, memiliki referensi luas untuk menyusun akrobat kata yang memukau, dan kesetiannya pada boombap era golden age tidak perlu diragukan lagi. Setiap mendengar Insthinc, penyuka hip hop hanya butuh satu ekspektasi: bars demi bars disusul bars lain. Belum banyak rapper yang layak menyandang sebutan wordsmith dalam bahasa Indonesia, dan Insthinc salah satu yang sedikit itu, termasuk saat dia menggabungkan AK 47 dengan setrum Raiden sekaligus menyusun manifesto berkesenian dalam single unggulan album terbarunya.
Materi debutnya, Textacy yang rilis pada 2018 mengusung energi mentah. Kini, dalam materi terbaru Kartografi Musim Pagebluk, Insthinc menjadi semakin matang, dibantu kolaborator rutin beatmaker Densky9. Yang paling penting, Insthinc kini menyelipkan cukup banyak ruang untuk melodi dalam albumnya, sembari mempertahankan gayanya yang selalu tight saat menjadi MC. Simak saja single ‘Beda Mama’ yang nostalgik pada masa muda berkalang kemiskinan, poppish, tapi punya punchline mengejutkan (“tak dibesarkan dengan peluang, kini besarkan volume”). Insthinc sedikit mengerem energi dan hasilnya, album ini menjadi kontemplatif dan tak terasa menggurui sama sekali. Setiap album yang jujur dan cerdas seperti ini adalah kemenangan buat perkembangan hip hop Tanah Air.
5) Perunggu – ‘Memorandum’
Siapa sangka bahwa sound emo/alternative rock era MTV 2000an sangat cocok dipadukan dengan sensibilitas pop Melayu ala Sheila On 7? Jawabannya adalah Perunggu, trio pekerja korporat asal Jakarta yang namanya meroket tahun ini setelah merilis album debut mereka Memorandum. Tidak sulit melihat alasannya: musik rock yang mereka mainkan ramah-radio, menawarkan melodi-melodi yang familiar, chorus yang catchy dan lirik yang menggugah emosi macam Jimmy Eat World atau Paramore. Ketika Perunggu menurunkan level distorsi dan tempo lagu mereka, songwriting mereka terdengar paling efektif.
Single mid-tempo “Biang Lara” adalah sebuah anthem untuk tidak tenggelam dalam kesuraman “Jika ini sepi / Tinggikan hatimu, berkali kubilang / Sembunyikan benci”, sementara “Kalibata, 2012” merupakan rintihan hati bagi mereka yang kangen dengan sosok almarhum orang tua, “Pejam mataku, sebutkan namamu hadir / Muncul rangkaian ribuan cerita penting / Yang kuinginkan kau ada dalam abdi.” Lewat Memorandum, Perunggu berhasil menyajikan rock melodik yang aksesibel dengan lirik-lirik yang sifatnya universal dan relatable.
4) Romantic Echoes – ‘Paradisa’
Menjunjung tema cinta, Paradisa—diambil dari nama sang tunangan, Paradisa Chirana—album kedua Romantic Echoes, moniker proyek solo musisi asal Medan, Jack Alfredo, layak disebut album pop paling ambisius dan memabukkan tahun ini. Masih tetap diwarnai oleh sound-sound pop retro 60/70/80an, Romantic Echoes menyelami berbagai music influence-nya yang variatif, mulai dari funk/soul (“Berantakan”), pop psikedelik (“Misteri”), nuansa perkusi India (“Amerta”) hingga piano ballad (“Mahir”).
Semuanya disatukan oleh warna vokal Jack yang ringan, dan kerap melejit ke ranah falsetto yang membius—mengingatkan kita akan Chrisye atau David Bayu. Untuk seorang artis pop, Romantic Echoes tidak takut mengambil beberapa resiko dalam aransemen lagunya dan juga presentasi sound designnya. Ini jugalah yang membuat album Paradisa ini sangat menyenangkan dan punya replay value yang tinggi.
3) Tulus – ‘Manusia’
Enam tahun setelah rilisan penuh terakhirnya, salah satu vokalis pria tersukses di negeri ini, Tulus kembali lewat album kelima-nya, Manusia di mana dia terdengar sedang menjabarkan berbagai emosi dan pertanyaan yang dia miliki sebagai seorang manusia yang memasuki umur pertengahan 30an, misalnya saja nomor jazzy “Kelana” (kolaborasi kedua bersama Petra Sihombing) yang mempertanyakan tujuan hidup, “Kita ke mana? / Mau ke mana? / Hendak mencari apa? / Menumpuk untuk apa?” atau track piano pop megah tentang sulitnya melupakan cinta masa lalu berjudul “Ingkar”, “Aku coba dengan yang baru baru / kukira hilang bayangmu / Namun tiap dengan yang baru / Rasanya seperti ku berbohong dan curangimu.”
Biarpun tidak banyak keluar dari pakem musik Tulus yang sudah-sudah, lagu seperti “Pilu” (kolaborasi dengan Dere) yang masuk ke ranah folk kontemplatif menunjukkan kalau warna suara Tulus yang kuat bisa dibawa ke mana pun tanpa kehilangan karakter. Kesuksesan single “Hati Hati di Jalan” yang sempat viral juga menjadi bukti bahwa hingga saat ini, Tulus masih belum kehilangan sentuhannya sebagai seorang hitmaker yang bonafide.
2) Kuntari – ‘Larynx’
Salah satu tantangan terbesar bagi musisi adalah bagaimana menjaga kualitas pasca merilis album breakout mereka. Setelah merilis Last Boy Picked tahun lalu yang mendapatkan banyak pujian dari kritikus musik—dan masuk banyak daftar album terbaik 2021—ke arah mana lagi gitaris jazz-banting-setir-jadi-musisi eksperimental Tesla Manaf, atau Kuntari akan melanjutkan eksplorasi musiknya? Di Larynx, Tesla masih banyak bermain dengan soundscape ambient yang mistis dan mengedepankan seksi rhythm yang dinamis. Namun dibanding album sebelumnya yang lebih terdengar lebih “liar” dan bebas, Larynx terdengar lebih terstruktur dan fokus.
Setiap transisi—dari part yang kalem ke section yang lebih energetik dan sebaliknya—terasa efektif dan datang di saat yang tepat. Menggunakan berbagai instrumen seperti cornet, gong, drum dan perkusi, Larynx menawarkan berbagai pola ritme yang menarik, kadang terdengar seperti scoring tarian Barongsai, kadang seperti band-band math rock metal barat. Ada semacam “heaviness” yang ditawarkan di sini tanpa harus menggunakan distorsi gitar elektrik secara tradisional. Seperti cover album yang menunjukkan serigala bermata empat yang sedang berteriak, Larynx adalah sebuah album eksperimental yang menggigit, unik, dan menunjukkan kalau Tesla sudah menemukan soundnya sendiri yang khas.
1) The Jansen – ‘Banal Semakin Binal’
Kalau kancah musik Indonesia pada 2022 dianalogikan sebagai NBA, rasanya pantas untuk menyematkan penghargaan Most Improved Player untuk The Jansen. Sejak merilis album penuh ketiganya, Banal Semakin Binal pada akhir Juli silam, trio (sejak November kemaren resmi menjadi kuartet) punk rock asal Bogor ini menjadi buah bibir para pecinta musik lokal. The Jansen banyak menghabiskan paruh kedua tahun ini tampil di puluhan gig dan melakukan tur ke berbagai daerah di Indonesia, dan setiap show—entah itu bareng band hardcore yang lebih heavy, atau band indie rock yang lebih artsy—menjadi saksi bagaimana materi album Banal Semakin Binal memiliki daya tarik lintas genre yang besar.
Mengaku terinspirasi oleh sound twee pop ala roster Sarah Records dan kompilasi C86, The Jansen men-tweak sound punk rock mereka yang tadinya lebih lempeng dengan memasukkan sensibilitas indie pop khas nusantara era awal 2000an. Hasilnya adalah nomor mid-tempo anthemic ala Pure Saturday dan Rumah Sakit yang dimainkan dengan power chord berdistorsi. Lirik keseharian yang sederhana namun sedikit puitis dan ditulis seperti kolase juga menawarkan kedalaman yang menarik. Siapa yang sangka kalau bait yang depresif di atas kertas macam “Terisolasikan diri / Tekanan semakin jadi / Terisolasikan diri / Ramai dan tak terkendali / Mereguk anti depresan lagi” (dari single “Mereguk Anti Depresan Lagi”) akan menjadi salah satu momen sing-along paling pecah dan euforik di 2022? Apa pun yang mereka akan lakukan ke depannya, lewat Banal Semakin Binal, The Jansen telah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu bintang yang sinarnya paling terang tahun ini.
Yudhistira Agato adalah jurnalis lepas yang bermukim di Jakarta, fokus mengamati kancah musik Indonesia. Laporannya bisa dibaca di VICE, the Jakarta Post, serta NME. Follow dia di Twitter